Gerwani: Sepenggal Mimpi Buruk Wanita Indonesia Pascatragedi G-30-S

By Galih Pranata, Jumat, 16 September 2022 | 13:00 WIB
Anggota Organisasi Perempuan Indonesia Gerakan Wanita (Gerwani), Marwani Pardede berpidato di depan para delegasi. Ia berpidato pada Kongres Federal VII di Dynamo Sports Hall, Berlin pada 3 November 1960. (Irene Eckleben/German Federal Archives)

Nationalgeographic.co.id—Setiap kali mendengar Gerwani (Gerakan Wanita), tidak pernah lepas dari bayang-bayang tentang wanita sadis yang mengayunkan silet untuk merobek kulit-kulit wajah dan menyiksa para jendral dengan sadis.

Sebuah tragedi yang pernah terjadi di Indonesia, dikenal dengan sebutan Gestapu (Gerakan September Tigapuluh) atau G-30-S. Gerakan ini terjadi pada 30 September 1965 yang kemudian menciderai citra wanita Indonesia selepasnya.

Tampaknya, itu juga yang dirasakan Josepha Sukartiningsih. Ia menulis dalam sebagian buku berjudul Tahun yang Tak Pernah Berakhir (2004) tentang perasaannya tatkala mendengar "Gerwani".

Sebuah tulisan yang berusaha menggambarkan kondisi para Gerwani dan yang tertuduh terlibat di dalamnya. Josepha blusukan ke sebuah perkampungan guna menanyakan dan menggambarkan lagi kondisi mereka pasca tragedi G-30-S.

Genjer-genjer yang dikenal dalam film propaganda yang diputar setiap peringatan tragedi, bukanlah lagu "khas" orang-orang PKI, maupun Gerwani. Lagu ini turut mengiringi jalannya penyiksaan, bersamaan dengan melejitnya lagu ini di zaman itu.

Para Gerwani dituduh—tanpa alasan yang jelas—terlibat dalam penculikan dan penganiayaan sejumlah jendral dan perwira. Sambil mendendangkan lagu Genjer-genjer, mereka jingkrak-jingkrak seraya menari telanjang.

Setelah sejumlah tuduhan atas penyiksaan kepada para Dewan Jendral Angkatan Darat TNI, para wanita yang terlibat aktif dalam Gerwani ataupun yang tertuduh diantaranya, ditangkap.

Organisasi Gerwani kemudian dibubarkan dan dicap sebagai organisasi terlarang. Josepha berbekal rasa penasarannya terhadap nasib yang terjadi kepada para Gerwani pasca tragedi itu, mulai melancarkan aksinya.

Josepha yang ingin memastikan itu, mengumpulkan keberaniannya menerobos sekat untuk menemui para mantan Gerakan Wanita (Gerwani). Tentu, Josepha menyadari bahwa para Gerwani ditangkap karena dianggap terlibat dalam peristiwa malam berdarah itu.

Josepha telah mendengar sejumlah keluh kesah mereka. Dengan getirnya semua telah diceritakan oleh ibu-ibu yang ia temui, dan mengaku sebagai tahanan politik pasca tragedi Gestapu.

Parahnya, para wanita yang berada satu sel bersama dengan Gerwani, tetap dicap dianggap sebagai bagian dari gerakan pemberontakan Gerwani. Citra wanita Indonesia waktu itu benar-benar suram.

Dalam tulisannya, ia menceritakan telah membaca buku Bertahan Hidup di Gulag Indonesia (1997) karya Carmel Budiardjo. Dari buku itu, Josepha tersentak dan terenyuh melihat dampak yang diterima sejumlah Gerwani pasca tragedi maut Gestapu.