Bukti Amputasi Tertua pada Manusia Zaman Batu Ditemukan di Kalimantan

By Utomo Priyambodo, Kamis, 8 September 2022 | 12:00 WIB
Bukti operasi amputasi kaki pada manusa pemburu-pengumpul yang ditemukan di Liang Tebo, Kalimantan. (Tim Ryan Maloney, dkk/Nature)

Lebih lanjut Profesor Aubert mengatakan bahwa penemuan baru di Kalimantan ini menunjukkan bahwa manusia telah mengembangkan pengetahuan anatomi dan keterampilan medis tingkat tinggi yang diperlukan dalam proses amputasi anggota badan jauh sebelum spesies kita mulai bertani dan tinggal di pemukiman secara permanen. Hal ini sesuai dengan bukti bahwa pemburu zaman es di belahan dunia ini memiliki cara hidup budaya yang canggih, seperti yang ditunjukkan pada seni gambar cadas periode awal di pulau Kalimantan dan Sulawesi yang berdekatan.

Momen kengerian yang dialami para pasien ahli bedah pada abad pertengahan di Eropa, meski dengan menggunakan pengobatan modern, baru mampu mencapai keberhasilan setelah adanya penemuan antiseptik pada abad sebelumnya. Adhi Agus Oktaviana, mahasiswa PhD Griffith University yang peneliti arkeologi dari PR Arkeometri, OR Arkeologi, Bahasa dan Sastra, BRIN, menyatakan adanya kemungkinan bahwa beberapa seniman pendahulu dari daerah ini juga telah mengembangkan pengetahuan medis tingkat lanjut.

   

Baca Juga: 15 Temuan Memukau tahun 2021, Cadas Sulawesi Selatan Salah Satunya

Baca Juga: Seniman-Seniman Lukis Pertama di Dunia Berasal dari Indonesia?

Baca Juga: Pusparagam Cycloop: Asal-Usul Pulau Seniman Lukis di Danau Sentani

Baca Juga: Gambar Cadas Purbakala di Sulawesi Terancam Rusak oleh Perubahan Iklim

   

Menurut Maloney, masih menjadi pertanyaan apakah penemuan di Liang Tebo ini hanyalah bukti pertama yang diketahui untuk kompleksitas budaya medis pemburu-pengumpul yang jauh lebih luas pada periode awal prasejarah manusia ini. Atau, jika komunitas ini menghuni Kalimantan 31.000 tahun yang lalu, yang pada saat itu masih merupakan bagian dari benua super Eurasia Sunda, mereka telah memperoleh tingkat kemahiran yang luar biasa tinggi di bidang ini.

"Satu kemungkinan adalah bahwa tingkat infeksi yang cepat di daerah tropis yang panas dan lembab mendorong mereka untuk memanfaatkan 'farmasi alami' tanaman obat di hutan hujan, yang kemudian mengarah pada perkembangan awal dalam penggunaan sumber daya botani untuk anestesi, antiseptik, dan perawatan penyembuhan luka lainnya," kata Dilkes-Hall.

Menurut Pindi Setiawan, salah satu anggota tim riset dari FSRD ITB, temuan ini memberikan implikasi yang besar untuk memperkuat bukti kawasan karst Sangkulirang-Mangkalihat sebagai sebuah Situs Warisan Dunia. Adapun bagi Sofwan Noerwidi dari Pusat Riset Arkeometri BRIN, "Penemuan ini merefleksikan kompleksitas sosial masyarakat pemburu pengumpul pada periode Pleistosen Akhir sekitar 31.000 tahun lalu di Nusantara, ketika kondisi lingkungan rata-rata lebih sejuk dibandingkan saat ini. Penanganan kondisi kesehatan melalui operasi amputasi mengindikasikan bahwa masyarakat pemburu pengumpul berusaha mempertahankan komposisi jumlah anggota mereka untuk dapat bertahan di hutan hujan tropis dengan segala potensi bahayanya."

Kepala OR. Arkeologi, Bahasa dan Sastra BRIN, Herry Yogaswara, mengungkapkan bahwa temuan ini setidaknya menunjukan beberapa hal. Pertama, temuan ini berkontribusi memberi wawasan baru soal perkembangan ilmu arkeologi dan ilmu-ilmu lainnya seperti kedokteran, etnobiologi dan ilmu anatomi. "Kedua, membuktikan wilayah Indonesia sejak lama ditemukan temuan arkeologis yang memberikan kontribusi penting terkait evolusi manusia. Ketiga, riset yang menghasilkan temuan penting bersifat kolaboratif dan multidisiplin, para peneliti dari dalam dan luar negeri. Semangat kolaborasi ini menjadi ciri dari riset-riset kedepan."

Laporan atas temuan ini telah dipaparkan secara lengkap oleh para peneliti dalam sebuah makalah di jurnal Nature pada 7 September 2022.