Nationalgeographic.co.id—Di zaman Romawi, pengobatan dilakukan dengan menggabungkan pengetahuan ilmiah dengan kepercayaan supernatural dan agama. Para dokter Romawi mengadopsi banyak praktik dan filosofi dokter Yunani Hippocrates. Agar terhindar dari penyakit, orang Romawi juga mengenakan jimat khusus. Mereka pun mempersembahkan nazar di kuil dewa yang memiliki kekuatan untuk menyembuhkan. Beberapa kebiasaan bangsa Romawi mungkin dianggap aneh di zaman modern. Misalnya, dokter di zaman Romawi menggunakan mimpi sebagai alat diagnosis. Bukan hanya itu, ada beberapa fakta mengejutkan dari dunia kedokteran di zaman Romawi, seperti darah gladiator untuk pengobatan epilepsi.
Dokter menggunakan mimpi sebagai alat diagnosis
Banyak dokter Romawi kuno mempertimbangkan mimpi ketika membuat diagnosis dan menentukan perawatan. Mereka percaya bahwa mimpi itu bisa menjadi sinyal dari jiwa tentang ketidakseimbangan cairan dalam tubuh.
Mimpi dapat memberikan wawasan tentang pasien yang tidak bisa dilakukan dengan pengamatan langsung.
"Mimpi sering kali menunjukkan kekurangan dan kelebihan serta kualitas cairan tubuh," tulis Galen, dokter Yunani di zaman Romawi. Misalnya, mimpi yang mengandung salju atau es dianggap menunjukkan kelebihan dahak. Sedangkan mimpi yang menampilkan api menandakan peningkatan kadar empedu.
Galen mendiagnosis seorang pegulat yang bermimpi berjuang untuk bernapas sambil berdiri di tangki darah. Menurutnya, pegulat itu menderita kelebihan cairan tubuh dan darahnya harus dibuang.
Darah dan hati gladiator yang mati dipercaya dapat menyembuhkan epilepsi
Tanpa pemahaman ilmiah tentang epilepsi, dokter Romawi menganjurkan agar penderitanya meminum darah gladiator. Darah hangat itu diambil dari tenggorokan gladiator yang disembelih sebagai obat mujarab.
"Darah para gladiator diminum oleh penderita epilepsi seolah-olah itu adalah darah kehidupan," tulis Plinius yang Tua. Dokter juga menganjurkan konsumsi hati gladiator sebagai pengobatan.
Menurut dokter Romawi Scribonius Largus, penonton akan maju dan mengambil sepotong hati dari gladiator tewas di pertarungan. Namun mengapa darah dan hati gladiator digunakan sebagai obat? Gladiator dipandang sebagai simbol kejantanan yang meninggal dalam keadaan sehat, mungkin ini jadi salah satu alasannya.
Pengaruh tabib Romawi kuno terhadap praktik kedokteran selama 1.300 tahun setelah kematiannya
Lahir dan dibesarkan di Yunani, Galen dari Pergamon mempelajari teori anatomi dan fisiologis di Alexandria, Mesir. Ia kemudian mengasah keterampilan medisnya dengan merawat gladiator yang terluka di tempat kelahirannya. Saat menetap di Roma tahun 162 Sebelum Masehi, Galen melakukan operasi, menganjurkan olahraga, diet seimbang, kebersihan yang baik dan mandi. Menurutnya otak, bukan jantung, yang mengendalikan tubuh.

Dia adalah dokter pertama yang menunjukkan bahwa laring menghasilkan suara dan mengidentifikasi perbedaan antara darah vena dan arteri. Sebagai dokter pribadi kaisar, Galen mengembangkan pengetahuan anatomi dengan merawat gladiator. Ia juga melakukan pembedahan pada manusia dan hewan.
Makalah medis yang ditulisnya bahkan dijadikan referensi hingga sekitar tahun 1500-an.
Kunci kesehatan yang baik dianggap menjaga keseimbangan empat cairan penting di tubuh
Kesehatan dan emosi seseorang diatur oleh empat zat internal—darah, dahak, empedu kuning, dan empedu hitam. Cairan penting ini terhubung ke empat kualitas unsur (panas, dingin, basah dan kering).
Dokter Romawi menghubungkan berbagai penyakit dengan ketidakseimbangan dalam cairan tubuh. Galen, misalnya, percaya kelebihan empedu hitam menyebabkan tumor kanker. Keseimbangan dapat dipulihkan melalui perawatan seperti membuang darah (bloodletting), muntah, enema, dan merangsang keringat.
Kesempatan untuk mempelajari anatomi manusia terbatas
Romawi kuno melarang pembedahan manusia karena masalah agama, etika, dan kesehatan masyarakat. Aturan ini tentu saja menghambat studi anatomi.
Dokter seperti Galen malah mengandalkan pembedahan hewan, khususnya babi dan primata karena struktur anatomi yang mirip dengan manusia. Pembedahan ini menjadi tontonan publik yang “menghibur”.
Profesi medis terbuka untuk wanita
Berdasarkan risalah medis, teks hukum dan prasasti pemakaman, wanita mempraktikkan pengobatan di zaman Romawi kuno. Meski dokter atau tabib wanita jarang, mereka biasanya bekerja sebagai bidan. Bidan bekerja di bawah bimbingan dokter untuk membantu persalinan dan memberikan obat kesuburan.
Jika ada tabib atau dokter wanita di Romawi, biasanya mereka berasal dari Yunani dan merupakan orang bebas. Sedangkan bidan umumnya adalah budak.
Kubis dianggap sebagai obat ajaib
Banyak dokter Romawi menghubungkan pola makan dengan kesehatan yang baik. Kubis disebut-sebut sebagai "makanan super" yang dapat mencegah dan mengobati berbagai macam penyakit.
“Akan menjadi tugas yang panjang untuk membuat daftar manfaat kesehatan dari kubis,” tulis Plinius.
Baca Juga: Koin Langka Romawi Timur Mengungkap Ledakan Supernova 'Terlarang'
Baca Juga: Roh Penjaga Rumah Orang Romawi Memberi Kemakmuran Sekaligus Bencana
Baca Juga: Menelisik Awal Mula Cincin Tunangan, Berasal dari Zaman Romawi Kuno
Sejarawan Romawi Cato yang Tua membuat makalah sepanjang 2.000 kata tentang manfaat kubis di “De Agricultura”. Menurut Cato, sayuran itu menyembuhkan sakit kepala, gangguan penglihatan dan masalah pencernaan. Selain itu, kubis juga menyembuhkan luka, memar, luka dan dislokasi.
"Singkatnya, itu akan menyembuhkan semua organ dalam," tulis Cato. Ia bahkan menulis bahwa menghirup asap kubis rebus meningkatkan kesuburan. Yang terakhir, mandi air seni orang yang mengonsumsi banyak kubis juga dipercaya memiliki manfaat penyembuhan.
Menariknya, tidak ada pelatihan formal yang diperlukan untuk menjadi seorang dokter di Romawi Kuno. Siapa pun dapat mengambil gelar dokter atau tabib tanpa mengikuti ujian atau memenuhi serangkaian kualifikasi seperti sekarang.
Meski dianggap aneh di zaman modern, itulah beberapa kebiasaan normal dunia kedokteran di zaman Romawi kuno.