COVID-19 Lebih Mematikan Bagi Orang dengan Gangguan Intelektual

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Rabu, 14 September 2022 | 19:30 WIB
Ilustrasi orang dengan gangguan jiwa. Orang dengan gangguan intelektual lebih rentan mengalami kematian saat pandemi COVID-19. (iStock)

Nationalgeographic.co.id—Selama pandemi COVID-19, penelitian sibuk pada faktor psikologi manusia biasa. Sedangkan kelompok disabilitas mental terlupakan, padahal mereka juga terdampak sangat hebat.

Menurut penelitian yang dipublikasikan Disability and Health Journal pada 7 September 2022 mengungkap perhatian pada dampak pandemi pada kalangan gangguan intelektual dan perkembangan (IDD). Ternyata, COVID-19 menjadi penyebab utama orang dengan IDD pada 2020, menurut laporan.

IDD merupakan gangguan seumur hidup dalam beraktivitas, berbahasa, belajar, perawatan diri, dan kehidupan mandiri. Sehingga, orang dengan IDD membutuhkan bantuan bimbingan. Biasanya tanda gangguan ini bisa diidentifikasi sejak kecil. Contoh dari IDD termasuk down syndrome, celeberal palsy, dan gangguan intelektual.

Makalah itu berjudul COVID-19 Mortality Burden and Comorbidity Patterns Among Decedents with and without Intellectual and Developmental Disability in the US. Penelitian ini dilakukan oleh para peneliti dari Syracuse University dan SUNY Upstate Medical University di Amerika Serikat.

Penulis studi menulis, mereka yang tidak memiliki IDD, COVID-19 adalah penyebab kematian ketiga setelah jantung dan kanker. Akan tetapi, bagi mereka yang menderita IDD, COVID adalah penyebab kematian nomor wahid.

Scott Landes, penulis makalah yang menjadi associate profesor di University Syracuse, mengatakan bahwa penelitian ini mengonfirmasi prediksi sebelumnya. Dia sejak awal menduga bahwa COVID-19 lebih mematikan untuk orang-orang IDD.

"Bahkan ketika kami menyesuaikan usia, jenis kelamin, dan status minoritas ras-etnis, kami menemukan bahwa COVID-19 jauh lebih mematikan bagi mereka yang memiliki IDD daripada mereka yang tidak," terang Landes di Eurekalert. "Selanjutnya, orang-orang dengan IDD meninggal pada usia yang jauh lebih muda."   

Dalam studinya, Landes bersama bekerja sama dengan Julia Finan dari Department of Sociology and Aging Studies Institute. Dia juga mengajak Margaret Turk, seorang profesor kedokteran dan rehabilitasi di SUNY Upstate Medical Center.

Mereka bertiga mencari tahu mengapa derita COVID-19 bisa lebih besar bagi gangguan intelektual dan perkembangan. Para peneliti merasa bahwa lebih banyak perhatian yang diberikan pada penyakit, serta mengatur tempat mereka tinggal.

"Orang dengan IDD tinggal di lingkungan yang ramai dengan persentase yang lebih tinggi daripada yang tidak memiliki IDD," Landes menjelaskan.

Ia melanjutkan, "Situasi kehidupan kelompok, terutama dengan dukungan perawatan pribadi kontak dekat, dikaitkan dengan penyebaran COVID-19. Untuk perkiraan 13 hingga 20 persen orang dewasa dengan IDD yang tinggal di pengaturan ini, risikonya tidak dapat dilebih-lebihkan."

Orang dengan IDD, tercatat, mengalami hipotirodisme--kondisi ketika kelenjar tiroid tidak mengehasilkan hormon yang cukup, dan kejang-kejang yang lebih tinggi. Bahkan, kalangan IDD yang obesitas dapat berisiko kematian.