Risiko Astronom Salah Menafsirkan Sinyal Planet dalam Data James Webb

By Wawan Setiawan, Senin, 19 September 2022 | 11:00 WIB
Studi baru mengatakan bahwa, para astronom dapat berisiko salah menafsirkan sinyal planet dalam data James Webb. (Paopano)

Nationalgeographic.co.id - Teleskop Luar Angkasa James Webb NASA mengungkapkan alam semesta dengan kejernihan yang spektakuler dan belum pernah terjadi sebelumnya. Visi inframerah ultratajam observatorium telah menembus debu kosmis untuk menerangi beberapa struktur paling awal di alam semesta. Bersama dengan pembibitan bintang dan pembentukan planet yang sebelumnya juga tidak terlihat. Bahkan mengintai galaksi berputar yang terletak ratusan juta tahun cahaya jauhnya.

Selain melihat lebih jauh ke alam semesta daripada sebelumnya, Webb akan menangkap pandangan paling komprehensif dari objek di galaksi kita sendiri, yaitu beberapa dari 5.000 planet yang telah ditemukan di Bimasakti.

Para astronom memanfaatkan presisi penguraian cahaya teleskop untuk memecahkan kode atmosfer yang mengelilingi beberapa dunia terdekat ini. Sifat-sifat atmosfernya dapat memberikan petunjuk tentang bagaimana sebuah planet terbentuk dan apakah ia menyimpan tanda-tanda kehidupan atu tidak.

Akan tetapi, sebuah studi baru MIT menunjukkan bahwa alat yang biasanya digunakan para astronom untuk memecahkan kode sinyal berbasis cahaya mungkin tidak cukup baik untuk secara akurat menafsirkan data teleskop baru. Secara khusus, model opasitas—alat yang memodelkan bagaimana cahaya berinteraksi dengan materi sebagai fungsi dari sifat materi—mungkin perlu penyetelan ulang yang signifikan agar sesuai dengan ketepatan data Webb, kata para peneliti.

Bagaimana jika model ini tidak disempurnakan? Maka para peneliti memperkirakan bahwa sifat-sifat atmosfer planet, seperti suhu, tekanan, dan komposisi unsurnya, dapat berubah menurut urutan besarnya.

"Ada perbedaan yang signifikan secara ilmiah antara senyawa seperti air yang hadir pada 5 persen versus 25 persen, yang model saat ini tidak dapat membedakannya," kata rekan pemimpin studi Julien de Wit, asisten profesor di Departemen Earth, Atmospheric, and Planetary Sciences (EAPS) MIT.

"Saat ini, model yang kami gunakan untuk mendekripsi informasi spektral tidak setara dengan presisi dan kualitas data yang kami miliki dari teleskop James Webb," tambah mahasiswa pascasarjana EAPS Prajwal Niraula. "Kami perlu meningkatkan permainan kami dan mengatasi masalah opacity bersama-sama."

Para astronom berisiko salah menafsirkan sinyal planet dalam data Teleskop Luar Angkasa James Webb jika model untuk menafsirkan data tidak membaik, menurut sebuah studi MIT. Dalam gambar konseptual ini, teleskop James Webb menangkap cahaya dari sekitar planet yang baru ditemukan (di kiri). Namun, ketika para ilmuwan menganalisis data ini, keterbatasan dalam model opasitas dapat menghasilkan prediksi planet yang tidak sesuai dengan urutan besarnya (diwakili oleh 3 kemungkinan planet di sebelah kanan) (Jose-Luis Olivares, MIT. James Webb icon courtesy of NASA)

De Wit, Niraula, dan rekan-rekan mereka telah menerbitkan hasil studi mereka tersebut di jurnal Nature Astronomy pada 15 September dengan judul "The impending opacity challenge in exoplanet atmospheric characterization." Tim penulis termasuk ahli spektroskopi Iouli Gordon, Robert Hargreaves, Clara Sousa-Silva, dan Roman Kochanov dari Harvard-Smithsonian Center for Astrophysics.

Opasitas adalah ukuran seberapa mudah foton melewati material. Foton dengan panjang gelombang tertentu dapat melewati suatu bahan, diserap, atau dipantulkan kembali. Ini tergantung pada apakah dan bagaimana mereka berinteraksi dengan molekul tertentu dalam suatu bahan. Interaksi ini juga tergantung pada suhu dan tekanan material.

 Baca Juga: Teleskop James Webb Mendeteksi Awan Silikat di Katai Coklat Terdekat

 Baca Juga: Termasuk James Webb, Inilah Lima Teleskop Paling Mahal di Dunia