Arkeolog Menemukan Gading Gajah yang Telah Punah Berusia 500.000 Tahun

By Ricky Jenihansen, Minggu, 25 September 2022 | 14:00 WIB
Gading gajah bergading lurus (Palaeoloxodon antiquus) berumur 500.000 tahun. (IAA)

Nationalgeographic.co.id—Para arkeolog melaporkan telah melakukan penggalian dan menemukan gading gajah langka berusia 500.000 tahun. Gajah tersebut merupakan gajah prasejarah yang disebut gajah bergading lurus (Palaeoloxodon antiquus).

Spesies gajah yang telah punah tersebut hidup di seluruh Eropa dan Asia antara 1,5 juta hingga 100.000 tahun yang lalu. Tingginya mencapai 4 meter atau sekitar 13 kaki.

Sementara beratnya mencapai 13 ton, lebih dari dua kali berat gajah terbesar yang ada di zaman sekarang. Spesies gajah yang sangat langka ini pernah berkeliaran di sekitar Mediterania.

Gading gajah bergading lurus, yang tingginya bisa mencapai 5 meter ini sangat menarik. Tidak hanya karena jauh lebih besar dari gajah Afrika saat ini, penemuan ini telah menimbulkan pertanyaan baru yang menarik.

Apa yang membuat penemuan itu semakin menarik adalah bahwa ia ditemukan di daerah di mana alat-alat batu dan batu api dan sisa-sisa hewan lainnya telah ditemukan.

Spesimen gading gajah bergading lurus yang ditemukan ini sangat terawat baik. Spesimen ini ditemukan di dekat Kibbutz Revadim di wilayah Shephelah selatan, itu berada di bawah yurisdiksi Dewan Regional Yoav.

Levy mengatakan gading itu akan diawetkan dan dipindahkan ke laboratorium untuk analisis lebih lanjut guna "mencoba menentukan usia, di mana dia tinggal, di mana dia berjalan."

Spesimen ini memiliki panjang sekitar 2,5 m atau sekitar 8,2 kaki. Menurut para arkeolog, spesimen ini setidaknya berusia 500.000 tahun.

"Gading itu milik spesies gajah bergading lurus, yang diketahui hanya dari beberapa lokasi," kata Lee Perry-Gal, seorang arkeozoolog di IAA dilansir oleh Sci-News.

"Spesies ini muncul di wilayah kami sekitar 800.000 tahun yang lalu, dan 400.000 tahun yang lalu, punah."

"Itu adalah gajah raksasa, lebih besar dari gajah Afrika saat ini."

Para arkeolog saat melakukan penggalian. (IAA)

"Gading yang membatu sangat rapuh, dan kemungkinan akan hancur ketika terkena udara dan sinar matahari dan sentuhan manusia," tambah Profesorl Hershkovitz, seorang peneliti di Dan David Center for Human Evolution and Biohistory di Tel Aviv University.

"Dari penggalian arkeologi kami sebelumnya di Revadim, kami tahu bahwa situs itu menetap pada periode Paleolitik Akhir Bawah," kata arkeolog IAA Avi Levy.

"Karena alat-alat batu dan batu api, serta tulang binatang, sisa-sisa—termasuk gajah, ditemukan tetapi ditemukan setengah juta tahun ini. Gading gajah lengkap yang sudah tua dalam kondisi baik adalah hal lain."

 Baca Juga: Hasil Penelitian Perkakas Tulang Gajah Buatan Manusia Purba Italia

 Baca Juga: Gajah Sisilia Menyusut dan Kehilangan 8.000 Kilogram Saat Berevolusi

 Baca Juga: Temuan Fosil Stegodon trigonocephalus di Sumedang Siap Direkonstruksi

Ini adalah fosil gading terbesar yang pernah ditemukan di situs prasejarah di Timur Dekat (Istilah yang sering digunakan oleh arkeolog dan sejarawan untuk merujuk kepada kawasan Levant atau Syam).

"Dalam penggalian arkeologis yang kami lakukan di sini beberapa tahun lalu, kami menemukan beberapa tulang gajah (tengkorak, tulang rusuk, dan gigi), dan artefak batu api, seperti alat serpihan, kapak tangan, dan alat pemotong yang digunakan untuk mengolah daging hewan," kata Profesor Ofer Marder dari University of Ben-Gurion dan Ianir Milevski dari IAA.

"Penemuan gading, terlepas dari tengkorak dan bagian tubuh lainnya, menimbulkan pertanyaan: Apakah gading itu sisa-sisa gajah yang diburu, atau dikumpulkan oleh penduduk prasejarah setempat? Apakah gading itu memiliki makna sosial atau spiritual?"

Studi etnografi sebelumnya mengungkapkan bahwa sekelompok besar orang prasejarah berburu gajah di daerah tersebut.

"Konsentrasi sisa-sisa material, kebanyakan alat-alat batu, dalam penggalian saat ini dan di seluruh situs menunjukkan bahwa ada sejumlah besar orang di situs tersebut dalam satu periode waktu dan gajah diburu,” kata Profesor Hershkovitz dan IAA Omry Barzilai.

"Dalam iklim yang panas dan kering di wilayah kami, daging gajah tidak bisa bertahan lama, jadi pasti dikonsumsi dengan cepat oleh banyak orang, mungkin sebagai bagian dari acara komunal."