Perang Suku dan Praktik Kanibalisme di Pulau Tanna di Vanuatu

By Galih Pranata, Selasa, 27 September 2022 | 14:00 WIB
Lukisan kanibalisme yang terjadi di Pulau Tanna, New Hebrides (sekarang menjadi Vanuatu) karya Charles E. Gordon Frazer. (Charles E. Gordon Frazer/Wikimedia)

Nationalgeographic.co.id—Sejak Kepulauan Pasifik ditemukan pertama kali oleh bangsa Eropa, mereka tidak pernah membayangkan hal pelik terjadi di sana. Kepulauan Pasifik yang indah nyatanya menyimpan sejumlah konflik.

"Tempat itu dipenuhi dengan permusuhan di mana perang suku dan praktik kanibalisme banyak terjadi di sana," tulis Debbie Fabb kepada Pilot Guide dalam artikel "An Eye for an Eye: Cannibalism in the Pacific Islands" terbit pada 1 Februari 2022.

Selama awal abad ke-19, jika Anda adalah seorang pelaut yang terdampar di Kepulauan Pasifik, Anda mungkin tidak akan hidup untuk menceritakan kembali betapa payahnya terdampar di sebuah pulau, tetapi Anda akan berakhir di panci masak untuk dihidangkan.

Inilah sebuah pengalaman dari kesaksian bangsa Eropa yang terdampar di kepulauan di Vanuatu. Sebuah praktik kanibalisme yang merajalela di Pulau Tanna di Vanuatu.

Pertempuran antar suku adalah pemandangan yang umum terjadi. Menariknya lagi, setelah menang, mereka akan memakan lawannya. "Intensitas dan signifikansi kanibalisme sangat bervariasi di seluruh pulau di Vanuatu," terangnya.

Namun secara umum, diyakini bahwa dengan memakan potongan tubuh lawannya, hal itu dipercaya akan menyerap beberapa kualitas yang dimiliki lawan perang mereka. Kualitas itu dapat dikatakan seperti keberanian dan kekuatan suku tandingannya.

Lebih penting lagi, dengan memakan daging lawan mereka juga merupakan balas dendam paling memuaskan, terutama terhadap lawan yang paling dibenci. Sebuah kemenangan dari lawan perangnya yang telah melakukan penghinaan besar bagi keluarga mereka.

Para prajurit perang suku, biasanya menyimpan tubuh korban mereka. Hal itu dapat dibayangkan untuk membuat sebuah kalung, jepit rambut atau hiasan daun telinga yang terbuat dari tulang manusia, yang merupakan lawan perangnya.

Atau, "mungkin juga tengkoraknya akan dibuat menjadi sebuah mangkuk minum yang disebut yaqona," imbuhnya. Seluruh prosesi kanibalisme akan dirayakan dengan lagu, tarian dan upacara pengorbanan formal.

Para pria dalam suku pemenang, akan menyanyikan 'cibi' atau tarian kematian, sedangkan para wanita 'dele', akan mempermalukan mayat lawan perangnya secara seksual.

 Baca Juga: Praktik Kanibal Neanderthal Ungkap Pentingnya Evolusi Indra Penciuman

 Baca Juga: Carl Bock, Peneliti Eropa Pertama yang Menepis Stigma Suku Dayak

 Baca Juga: Kanibalisme: Ditabukan Manusia, Dijadikan Dalih Penjajahan Barat

Gordon Frazer, melukiskan perjalanannya ke Vanuatu, tepatnya di Pulau Tanna dengan menggambarkan kondisi kanibalisme di sana. Kala itu, Frazer melakukan perjalanan secara ekstensif ke seluruh Australasia, New Hebrides (Vanuatu), dan Nugini.

Selama kunjungan keduanya ke Pulau Tanna di New Hebrides, dia menyaksikan ritual yang digambarkan di mana dia menulis: "Setelah beberapa orasi yang bersemangat, festival dimulai."

Seorang korban dibawa oleh salah satu suku untuk disantap, dalam karya Gordon Frazer. (Charles E. Gordon Frazer/Wikimedia Commons)

Prosesi itu perlahan-lahan membawa korban mereka ke atas tiang. Dua korban telah disaksikan Frazer, meskipun korban yang akan disantap ada lebih banyak.

Raungan dan ratapan terus terdengar dari semak-semak. "Dimungkinkan datang dari para wanita yang mengeluh atas orang-orang yang terbunuh dari suku mereka sendiri," pungkas Frazer.

Lukisan fenomenal Gordon Frazer akhirnya selesai dibuat. Ia mulai memamerkan lukisannya pada tahun 1895 di sebuah pameran di Liverpool. Ia juga menciptakan sebuah makalah yang merepresentasikan lukisan yang telah dibuatnya.