Nationalgeographic.co.id—Sebagian wanita mungkin menganggap lipstik sebagai alat kecantikan dasar dan paling populer sepanjang masa. Ribuan tahun yang lalu, lipstik digunakan menutupi ketidaksempurnaan penampilan. Untuk mempertegas bibir, seseorang membubuhkan warna yang indah. Kebiasaan itu terus berlanjut hingga kini. Di zaman kuno, lipstik merupakan “ciuman kematian” yang mempercantik penampilan. Apa sebabnya?
Lipstik di zaman kuno: beracun
Seperti banyak penemuan lainnya, alat kecantikan ini juga berakar jauh di zaman kuno.
Lipstik adalah perlengkapan dasar bagi seorang wanita dari Babilonia hingga Romawi kuno untuk terlihat lebih cantik. Lipstik bertahan hingga zaman modern dan masih menemani hampir semua wanita di dunia. Tidak peduli asal, budaya, dan tradisinya.
Catatan sejarah menunjukkan bahwa lipstik benar-benar beracun. Karena alasan itu, pewarna bibir ini disebut sebagai “ciuman kematian”.
Lima ribu tahun yang lalu, di Mesopotamia kuno, wanita menghancurkan batu merah dan menghiasi bibir dengan batu yang sudah dihaluskan itu. Di Mesir kuno, campuran rumput laut merah, yodium, dan bromin digunakan untuk membuat lipstik. Komposisi itu sangat beracun sehingga hanya pelacur yang menggunakannya.
Wanita Lembah Indus kuno juga menggunakan riasan, menggelapkan bibir dengan lipstik berwarna merah. Lipstik itu terbuat dari rumput laut, tanah liat, dan serangga kering rebus.
Biasanya, wanita zaman dahulu menggunakan tepung khusus dari tanaman kering dan serangga. Namun, campuran tersebut beracun sehingga mereka harus sangat berhati-hati agar tidak terjilat.
Meski beracun, lipstik tetap digemari
Terlepas dari potensi keracunan, wanita di zaman kuno tidak bisa menolak godaan warna merah. Mereka tahu betul betapa hebatnya kekuatan indriawi yang dimilikinya.
Riasan ekspresif dengan warna merah yang kuat melambangkan kecantikan di zaman kuno. “Ini juga merupakan cara untuk memberikan penghormatan kepada dewa,” ungkap A. Sutherland di laman Ancient Pages.
Pada tahun 1983, patung kepala dewi seukuran aslinya digali dari situs Budaya Niu He Liang Hongshan Tiongkok. Patung tersebut diperkirakan berusia lebih dari 5000 tahun. Bibir sang dewi berwarna merah, menandakan bahwa tradisi memerahkan bibir sudah dikenal sejak ribuan tahun yang lalu.
Lipstik di zaman Yunani kuno digunakan oleh pelacur
Warna merah bibir yang berhasil dibuat oleh orang Mesir kuno menyebar dengan sangat cepat ke Yunani kuno dan Romawi kuno. Namun, tradisi itu sempat tidak terlalu populer.
Di awal zaman Yunani kuno, kebanyakan wanita biasanya tidak menggunakan riasan di wajah. Lipstik merah atau pewarna bibir dianggap sebagai tanda bahwa wanita tersebut adalah seorang pelacur.
Kemudian, antara 700 dan 300 Sebelum Masehi, tradisi mewarnai bibir menyebar ke wanita kelas atas. Mereka mewarnai bibir dengan menggunakan kosmetik yang terbuat dari pewarna khusus. Pewarna itu ungu Tyrian, mulberry yang dihancurkan, dan zat lainnya.
Seperti yang kita ketahui, bangsa Romawi mengadaptasi banyak hal dari budaya Yunani kuno. Apakah mereka juga menganggap lipstik hanya digunakan oleh pelacur? Di Romawi kuno, lipstik menjadi semacam ekspresi keagungan, peringkat sosial, dan kekayaan.
Wanita kaya di Romawi dapat memperoleh produk kosmetik yang sangat mahal dan eksotis dari Tiongkok, Jerman, dan Galia. Karena produk mahal seperti itu menimbulkan banyak kontroversi, undang-undang "LexOppia" yang terkenal dari 189 Sebelum Masehi mencoba membatasi penggunaannya. Undang-undang itu juga mengontrol kekayaan maksimum wanita dan penampilan mereka di depan umum.
Misalnya, mereka dilarang memiliki lebih dari satu ons emas, mengendarai kendaraan yang ditarik hewan di dekat kota dan mengenakan pakaian warna-warni.
Lipstik yang berkonotasi negatif di Inggris
Pada masa pemerintahan Ratu Elizabeth I di Inggris, lipstik dibuat dari campuran noda merah dari tumbuh-tumbuhan dan lilin lebah. Sayangnya, penggunaan lipstik dilarang lagi oleh Ratu Victoria yang menyebutnya asusila.
Pada tahun 1770, Parlemen Inggris mengesahkan undang-undang yang mengutuk lipstik. Undang-undang ini menyatakan bahwa “wanita yang dinyatakan bersalah merayu pria ke dalam perkawinan dengan cara kosmetik dapat diadili karena sihir.”
Bahkan, banyak pria Inggris juga percaya bahwa wanita yang memakai riasan wajah mencoba memaksa pria untuk menikah.
Seiring berjalan waktu, penggunaan lipstik makin populer dan tidak berkonotasi negatif seperti di zaman kuno. Selain itu, pewarna bibir yang mempercantik penampilan ini pun tidak beracun bak ciuman kematian lagi.