Proyeksi Mengkhawatirkan Kondisi Terumbu Karang Dunia pada 2035

By Utomo Priyambodo, Senin, 17 Oktober 2022 | 19:30 WIB
Di kedalaman 6 meter, terumbu karang mulai mengalami bleaching akibat panasnya air laut akibat kenaikan suhu bumi. (Donny Fernando)

Nationalgeographic.co.id—Berita buruk terkait planet bumi akan semakin sering bermunculan jika laju perubahan iklim terus berlanjut. Salah satunya adalah terkait kabar terumbu karang global.

Sebuah laporan penelitian baru yang diterbitkan dalam jurnal PLOS Biology oleh para peneliti di University of Hawaiʻi at Mānoa, Amerika Serikat, mengungkapkan proyeksi mengkhawatirkan atas terumbu karang dunia. Laporan ini menyebut bahwa, dalam skenario terburuk, setengah dari ekosistem terumbu karang di seluruh dunia akan secara permanen menghadapi kondisi yang tidak sesuai hanya dalam belasan tahun.

Kemampuan ekosistem untuk beradaptasi dengan perubahan di dalam lingkungannya sangat tergantung pada jenis dan dampak dari stresor atau tekanan lingkungan spesifik mereka. Terumbu karang, khususnya, peka terhadap kondisi lingkungan yang tidak sesuai ini. Namun, waktu untuk kesesuaian lingkungan telah lama diperdebatkan.

Memanfaatkan CMIP5, kerangka kerja eksperimental yang dirancang untuk menghitung model global yang dirancang untuk meningkatkan pengetahuan tentang perubahan iklim, para peneliti melihat proyeksi global dari lima penyebab stres lingkungan dari skenario historik hingga proyeksi untuk tahun 2100. Lima stresor ini termasuk suhu permukaan laut, pengasaman laut, badai tropis, proyeksi penggunaan lahan, dan populasi manusia.

“Sementara dampak negatif perubahan iklim terhadap terumbu karang sudah diketahui dengan baik, penelitian ini menunjukkan bahwa mereka (dampaknya) sebenarnya lebih buruk daripada yang diantisipasi karena kombinasi luas dari stresor-stresor yang disebabkan oleh perubahan iklim,” kata penulis utama studi ini, Renee Setter, seorang mahasiswa doktoral di University of Hawaiʻi at Mānoa, seperti diberitakan Eurasia Review.

"(Studi) ini juga memberi penerangan untuk menemukan bahwa karang akan menghadapi banyak stresor –menimbulkan rintangan dan tantangan yang lebih besar yang perlu diatasi untuk meningkatkan kemungkinan bertahan hidup."

Setter dan rekan-rekan penelitinya menemukan bahwa, di bawah skenario umum seperti biasa, 2050 adalah tahun median (nilai tengah) di mana kondisi lingkungan diproyeksikan menjadi tidak cocok untuk terumbu karang dunia ketika merujuk ke satu stresor. Ketika beberapa stresor dipertimbangkan, waktunya jatuh ke tahun 2035.

Baca Juga: Restorasi Mangrove dan Terumbu Karang Memberikan Perlindungan Banjir

Baca Juga: Film yang Membuat Setiap Orang Bisa Selamatkan Terumbu Karang Dunia

Baca Juga: 'Nyanyian' Terumbu Karang di Sulawesi: Upaya Konservasi dengan Suara

Selain itu, pada tahun 2055, diproyeksikan bahwa sebagian besar terumbu karang dunia (99 persen) akan menghadapi kondisi yang tidak sesuai berdasarkan setidaknya satu dari lima stresor yang dipelajari. Pada tahun 2100, diperkirakan 93 persen terumbu karang dunia akan terancam oleh dua atau lebih stresor yang diidentifikasi oleh para peneliti.

“Kita tahu bahwa karang rentan terhadap peningkatan suhu permukaan laut dan gelombang panas laut akibat perubahan iklim. Tetapi penting untuk memasukkan dampak antropogenik lengkap dan banyak stresor yang mengenai pada terumbu karang untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang risiko keseluruhan ekosistem ini," tambah rekan penulis Erik Franklin, Associate Research Professor di University of Hawaiʻi at Manoa.

“Ini memiliki implikasi besar bagi terumbu Hawaii lokal kami yang merupakan kunci keanekaragaman hayati, budaya, perikanan, dan pariwisata lokal.”

Tim peneliti kini bersiap untuk memasuki tahap berikutnya dari pekerjaan mereka. Mereka akan melihat lebih dekat bagaimana proyeksi pengaruh perubahan iklim terhadap spesies karang individu.

Dengan mengidentifikasi spesies mana yang lebih mungkin bertahan dalam kondisi yang tidak sesuai dan mana yang mungkin lebih rentan, tim berharap untuk lebih memahami spesies mana yang mungkin lebih berisiko terhadap stresor di masa depan.