Butuh 10 Juta Tahun Bumi Pulih dari Kepunahan Besar Permian, Mengapa?

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Senin, 24 Oktober 2022 | 15:00 WIB
Reptil purba Dinogorgon yang hidup di Afrika Selatan kini. Ia muncul di masa-masa akhir Permian. Pada akhir zaman tersebut, ada kepunahan besar yang membuat hampir semua spesies di Bumi punah. (Jonathan Blair/National Geographic)

Nationalgeographic.co.id - 252 juta tahun yang lalu, periode Permian berakhir. Pada waktu itulah, Bumi mengalami kepunahan massal yang bisa memusnahkan lebih dari 90 persen spesies. Di dunia paleontologi, periode Permian berganti menjadi periode Trias, di mana keduanya tetap diisi oleh banyak reptil besar.

Akan tetapi, "Kepunahan Hebat" ini membutuhkan waktu pemulihan yang tentunya berlangsung lambat. Butuh waktu 10 juta tahun dari bencana itu bagi Bumi untuk bisa dihuni kembali dan keanekaragamannya pulih.

Namun, apa yang membuatnya begitu lama pulih? Apa yang terjadi sebenarnya dengan Bumi selama 10 juta tahun lamanya untuk menghadirkan kembali kehidupan yang nyaris tiada? Sebuah penelitian terbaru di Nature Geoscience yang diterbitkan 3 Oktober 2022, menemukan jawabannya.

Selama ini, para peneliti yang terlibat dalam penulisan makalah, mencoba memahami perubahan iklim Bumi selama akhir Permian dan awal Trias. Secara geologis, benua-benua yang kita kenal tergabung menjadi satu daratan besar Pangea.

Apa yang kita kenal sebagai Perangkap Siberia (Siberian Traps) di Rusia bagian tengah, merupakan blok gunung berapi besar di masa Permian. Gas rumah kaca tersembur, menghangatkan Bumi, dan mungkin berkontribusi pada peristiwa kepunahan yang menyebabkan kematian beruntun berbagai spesies.

Lewat studi berjudul "Persistent late permian to early triassic warmth linked to enhanced reverse weathering" itu, para peneliti mempelajari proses pelapukan kimia. Rupanya kalsium dan karbon dioksida menjadi batuan karbonat. Pelapukan makin terjadi jika iklim makin hangat, dan menyebabkan lebih banyak erosi.

"Ketika lebih hangat dan pelapukan lebih cepat, lebih banyak karbon dioksida mengalir ke laut dan terkunci di bebatuan laut, membantu mendinginkan iklim," terang rekan penulis studi Clément Bataille, profesor di Earth and Environmental Sciences di University of Ottawa, Kanada, dikutip dari Live Science. Ketika iklim mendingin, pelapukan melambat dan lebih sedikit karbon dioksida yang terperangkap di bebatuan laut, sehingga mencegah suhu sangat dingin.

Baca Juga: Populasi Satwa Liar Dunia Anjlok 69% dalam Rentang Tahun 1970 dan 2018

Baca Juga: Apa yang Membunuh Dinosaurus dan Spesies Lain di Era Kepunahan Massal?

Baca Juga: Bukan 24 Jam, Inilah Satu Hari di Zaman Dinosaurus Berlangsung

Baca Juga: Kepunahan Massal Terparah dan Hewan-hewan Laut yang Mati Karena Pemanasan Global

Namun, para peneliti menjelaskan, ada proses lain yang bisa terjadi di lautan, yakni pelapukan terbalik. Ketika banyaknya mineral silika, dapat membentuk lempung baru di dasar laut. Selama proses ini, karbon dioksida dilepaskan lebih banyak daripada yang ditangkap.