Perburuan dan Perdagangan Satwa: Hukum dan Universitas Harus Bergerak

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Sabtu, 29 Oktober 2022 | 11:00 WIB
Kera ekor panjang (Macaca fascicularis) di Taman Nasional Gunung Leuser. Satwa liar punya hak untuk bisa hidup dan berperilaku sebagaimana mestinya di alam liar. Pemeliharaan mereka di ruang yang sempit, fasilitas tidak memadai, dan membuatnya tidak sejahtera, adalah kejahatan konservasi. (Enrique Lopez-Tapia)

Nationalgeographic.co.id - Kawasan tropis seperti Indonesia, memiliki aneka satwa liar yang memukau dan beberapa di antaranya dilindungi keberadaannya. Sayangnya, perdagangan satwa liar secara ilegal menjadi ancaman terhadap keanekaragaman hayati. Akibatnya, sejumlah spesies menjadi langka, rentan punah, dan ketidakseimbangan ekosistem di habitat aslinya.

“Kami sangat serius dan mempunyai komitmen untuk menindak pelaku kejahatan perburuan dan perdagangan satwa liar. Untuk melawan kejahatan terorganisir ini harus dilakukan bersama-sama, kami tidak bisa sendirian, perlu keterlibatan masyarakat, CSO, dan akademisi,” tegas Dirjen Penegakan Hukum Lingkungan dan Kehutanan KLHK Rasio Ridho Sani.

Rasio berpendapat di Belantara Learning Series (BLS) Episode 5 bertajuk "Penangangan Perdagangan Satwa Liar: Pembelajaran dari Asia Tenggara". Rasio menyatakan bahwa perburuan dan perdagangan ilegal satwa yang dilindungi harus dihentikan karena merugikan masyarakat, bahkan negara.

Tindakan ini juga merupakan kejahatan serius dan terorganisasi. Sehingga, dalam penegakan hukumnya, pelaku kejahatan perburuan dan perdagangan satwa liar perlu dihukum seberat-beratnya agar ada efek jera.

Lebih parahnya, perdagangan satwa liar dapat membawa ancaman berbahaya bagi segi kesehatan manusia sendiri. Satwa liar yang semestinya di habitatnya, membawa penyakit zoonosis ke berbagai belahan dunia. Perpindahan ini membuat penyakit bisa tertular, yang bisa jadi, belum pernah terjangkau manusia.

Rasio menerangkan, jumlah perdagangan satwa liar meningkat dalam beberapa tahun, terutama setelah pandemi COVID-19. Perdagangan ini diiringi dengan meningkatnya jaringan daring aktivitas ilegal.

Perdagangan liar saat ini tak cuma mengancam spesies kharismatik seperti harimau dan gajah. Kasusnya sudah mulai merembet dan mengancam spesies lain seperti ikan, reptil, unggas, dan sebagainya.

Baca Juga: Populasi Satwa Liar Dunia Anjlok 69% dalam Rentang Tahun 1970 dan 2018

Baca Juga: Alasan yang Perlu Anda Ketahui agar Tidak Memelihara Satwa Liar

Baca Juga: Dunia Hewan: Tak Semua Satwa Liar Pulih selama Kuncitara COVID-19

Baca Juga: Venatoria Sebagai Permulaan Konservasi Satwa di Hindia Belanda

Hal ini diungkap lewat data dari World Wildlife Seizures dari United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC). Data itu mengungkap bahwa ada lonjakan kasus penyitaan trenggiling 10 kali lipat dari tahun 2014 hingga 2018. Tercatat bahwa ada 180.000 penyitaan satwa liar di 149 negara dan wilayah.