Nationalgeographic.co.id—El Nino dan La Nina adalah siklus yang bisa diprediksi dengan pemodelan cuaca dan iklim di kisaran khatulistiwa Samudra Pasifik. Siklus ini memengaruhi negara-negara sekitarnya, termasuk Amerika Serikat dan Indonesia.
Berdasarkan simulasi komputer terbaru, salah satu pendorong sikluas ini adalah perubahan jarak antara Bumi dan matahari. Lidah dingin air permukaan samudra pasifik, memengaruhi osilasi selatan El Nino (ENSO). Hal ini memengaruhi cuaca di sebagian besar Amerika Utara, bahkan global.
Sementara, jarak Bumi ke matahari bervariasi sepanjang tahun karena orbitnya yang sedikit elips. Pada titik terdekatnya, perihelion, Bumi lebih dekat tiga juta mil ke matahari daripada saat aphelion (jarak terjauh). Akibatnya, sinar matahari lebih sering memapari permukaan Bumi saat perihelion dibandingkan saat aphelion.
Singkatnya, sedikit perubahan tahunan dalam jarak Bumi ke matahari, dapat berpengaruh besar pada siklus tahunan lidah dingin di Pasifik. Tentunya, ini berbeda dari pengaruh kemiringan sumbu Bumi saat musim-musim tertentu yang sebelumnya diperkirakan.
“Hal yang aneh adalah bahwa siklus tahunan dari efek jarak sedikit lebih lama daripada untuk kemiringan—sekitar 25 menit saat ini—jadi selama rentang sekitar 11.000 tahun, dua siklus tahunan berubah dari fase ke fase keluar, dan musim bersih mengalami perubahan yang luar biasa, sebagai hasilnya,” kata John Chiang, profesor di Department of Geography, University of California, AS, dikutip dari Eurekalert.
Dia mengungkapkan temuan ini bersama timnya lewat makalah berjudul "Two annual cycles of the Pacific cold tongue under orbital precession". Makalah itu diterbitkan di Nature pada 9 November 2022.
Chiang mencatat, efek jarak sudah dimasukkan dalam model iklimnya dalam penelitian. Walau efek jarak Bumi dengan matahari di bagian khatulistiwa Pasifik tidak diakui, ternyata tampak dalam siklus fase 22.000 tahun. Artinya, efek ini adalah jangka panjang, seperti bagaimana presesi Bumi mengitari matahari bisa memengaruhi zaman es.
“Ini tentu benar dan telah dipahami dengan baik selama berabad-abad. Meskipun efek jarak Bumi-matahari juga telah dikenali, penelitian kami menunjukkan bahwa 'efek jarak' ini mungkin merupakan efek yang lebih penting pada iklim daripada yang telah dikenali sebelumnya," kata rekan peneliti Anthony Broccoli dari Department of Environmental Sciences di Rutgers University, AS.
Baca Juga: Dampak Perubahan Iklim: Lahan Gambut Kongo Lepas Miliaran Ton Karbon
Baca Juga: Indonesia Terdampak Efek Musim Dingin La Nina Terpanjang Tahun Ini
Baca Juga: Samudra Pasifik Akan Memicu Terbentuknya Superbenua Baru di Planet Ini