Jarak Matahari-Bumi Pengaruhi Iklim Pasifik dalam Siklus 22.000 Tahun

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Senin, 14 November 2022 | 11:41 WIB
Tampang Bumi di bagian sisi Samudra Pasifik. Ternyata jarak Bumi ke Matahari bisa memengaruhi iklim dalam siklus 22.000 tahun. (Przemek Pietrak/Wikimedia)

Nationalgeographic.co.id—El Nino dan La Nina adalah siklus yang bisa diprediksi dengan pemodelan cuaca dan iklim di kisaran khatulistiwa Samudra Pasifik. Siklus ini memengaruhi negara-negara sekitarnya, termasuk Amerika Serikat dan Indonesia.

Berdasarkan simulasi komputer terbaru, salah satu pendorong sikluas ini adalah perubahan jarak antara Bumi dan matahari. Lidah dingin air permukaan samudra pasifik, memengaruhi osilasi selatan El Nino (ENSO). Hal ini memengaruhi cuaca di sebagian besar Amerika Utara, bahkan global.

Sementara, jarak Bumi ke matahari bervariasi sepanjang tahun karena orbitnya yang sedikit elips. Pada titik terdekatnya, perihelion, Bumi lebih dekat tiga juta mil ke matahari daripada saat aphelion (jarak terjauh). Akibatnya, sinar matahari lebih sering memapari permukaan Bumi saat perihelion dibandingkan saat aphelion.

Singkatnya, sedikit perubahan tahunan dalam jarak Bumi ke matahari, dapat berpengaruh besar pada siklus tahunan lidah dingin di Pasifik. Tentunya, ini berbeda dari pengaruh kemiringan sumbu Bumi saat musim-musim tertentu yang sebelumnya diperkirakan.

“Hal yang aneh adalah bahwa siklus tahunan dari efek jarak sedikit lebih lama daripada untuk kemiringan—sekitar 25 menit saat ini—jadi selama rentang sekitar 11.000 tahun, dua siklus tahunan berubah dari fase ke fase keluar, dan musim bersih mengalami perubahan yang luar biasa, sebagai hasilnya,” kata John Chiang, profesor di Department of Geography, University of California, AS, dikutip dari Eurekalert.

Dia mengungkapkan temuan ini bersama timnya lewat makalah berjudul "Two annual cycles of the Pacific cold tongue under orbital precession". Makalah itu diterbitkan di Nature pada 9 November 2022.

Chiang mencatat, efek jarak sudah dimasukkan dalam model iklimnya dalam penelitian. Walau efek jarak Bumi dengan matahari di bagian khatulistiwa Pasifik tidak diakui, ternyata tampak dalam siklus fase 22.000 tahun. Artinya, efek ini adalah jangka panjang, seperti bagaimana presesi Bumi mengitari matahari bisa memengaruhi zaman es.

“Ini tentu benar dan telah dipahami dengan baik selama berabad-abad. Meskipun efek jarak Bumi-matahari juga telah dikenali, penelitian kami menunjukkan bahwa 'efek jarak' ini mungkin merupakan efek yang lebih penting pada iklim daripada yang telah dikenali sebelumnya," kata rekan peneliti Anthony Broccoli dari Department of Environmental Sciences di Rutgers University, AS.

  

Baca Juga: Dampak Perubahan Iklim: Lahan Gambut Kongo Lepas Miliaran Ton Karbon

Baca Juga: Indonesia Terdampak Efek Musim Dingin La Nina Terpanjang Tahun Ini

Baca Juga: Samudra Pasifik Akan Memicu Terbentuknya Superbenua Baru di Planet Ini

Baca Juga: Singkap Jejak Samudra Purba di Planet Mars Bukti Pernah Beriklim Basah

   

"Apa yang ditunjukkan oleh penelitian ini adalah bahwa itu tidak terpecahkan. Masih ada misteri di sana." kata Chiang. "Hasil kami juga menimbulkan pertanyaan apakah wilayah lain di Bumi mungkin juga memiliki kontribusi efek jarak yang signifikan terhadap siklus musiman mereka."

Lewat penelitian itu, mereka menjelaskan bahwa perubahan jarak Bumi ke matahari tidak memengaruhi planet kita secara berbeda, baik di utara maupun selatan, seperti efek musiman karena kemiringan sumbu Bumi. Justru, jarak Bumi ke matahari menghangatkan belahan benua  Bumi daripada belahan lautan karena didominasi oleh Saumdra Pasifik.

“Cara tradisional berpikir tentang monsun adalah bahwa Belahan Bumi Utara menghangat relatif terhadap Belahan Bumi Selatan, menghasilkan angin ke daratan yang membawa hujan monsun,” kata Chiang.

"Namun di sini, kita sebenarnya berbicara tentang timur-barat, bukan utara-selatan, perbedaan suhu yang menyebabkan angin. Efek jarak bekerja melalui mekanisme yang sama seperti hujan monsun musiman, tetapi perubahan angin datang dari monsun timur-barat ini.”

Pemanasan yang berbeda dari belahan lautan dan benua, mengubah variasi tahunan di timur Pasifik bagian khatulistiwa barat, termasuk lidah dinginnya. Ketika Bumi berada di posisi terdekat dengan matahari, anginnya menjadi kuat. Pada titik terjauh dari matahari, menjadi lemah. Perubahan angin itu disebarkan ke Pasifik Timur dan mendorong siklus tahunan lidah dingin.

Chiang menjelaskan, saat ini efek jarak pada lidah dingin adalah sekitar sepertiga kekuatan efek miring. Penggabungan dua unsur ini saling meningkatkan dan mengarah ke siklus tahunan yang kuat.

Pada mulanya, 6.000 tahun silam, mereka justru saling bertentangan (efek pembatalan) dan menghasilkan siklus tahunan yang terkunci dari lidah dingin. Saat itu pula, orbit Bumi lebih elips, sehingga dampak jarak pada lidah dingin akan lebih besar, dan bisa menyebabkan efek pembatalan.