Mantan Kepala Taman Nasional: Konservasi Harus Masuk Kurikulum Sekolah

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Senin, 14 November 2022 | 16:00 WIB
Warga sekitar Pulau Rinca bersama Jagawana Balai Taman Nasional Komodo dan warga setempat berusaha memadamkan api dengan peralatan seadanya. Pegiat Konservasi menyerukan agar pendidikan konservasi harus ada di dalam kurikulum pendidikan formal dan akademi militer. (Labuan Bajo Info via Twitter)

Nationalgeographic.co.id—Ada banyak Taman Nasional yang dimiliki di Indonesia untuk menyimpan kekayaan keanekaragaman hayati. Beberapa Taman Nasional bahkan usianya jauh sebelum kemerdekaan Indonesia, lewat ordonasi pemerintah Hindia Belanda. Saat itu, Taman Nasional ditunjuk oleh pegiat konservasi di masa kolonial demi melestarikan alam Nusantara dari eksploitasi berlebihan.

Jumlah Taman Nasional pun berkembang dengan syarat kondisinya tidak terganggu dan masih asri. Luas dan jumlahnya pun tergantung pada luasan geografisnya. Itu sebabnya, Indonesia memiliki Taman Nasional yang luas dan banyak.

Pada awalnya, kawasan Taman Nasional fungsi menyerupai Cagar Alam yang sangat eksklusif dari pengunjung, dan tidak diperbolehkan untuk pemanfaatan. Hal itu bertujuan melestarikan keragaman hayati di dalamnya. 

Sejak 1970-an, Taman Nasional di seluruh dunia diperbolehkan untuk pemanfaatan, dan statusnya berbeda dari Cagar Alam oleh IUCN (Uni Internasional untuk Konservasi Alam), terang praktisi konservasi Wawan Ridwan. Dia pernah menjabat sebagai Kepala Taman Nasional di tiga tempat berbeda: TN Kerinci Seblat, TN Komodo, dan TN Bromo-Tengger-Semeru. Di Indonesia, Taman Nasional digunakan untuk pariwisata alam dan budaya, sekaligus sarana edukasi konservasi.

Lahannya dibagi menjadi zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan. Beberapa Taman Nasional memiliki zona lainnya seperti zona perlindungan bahari, zona tradisional, zona rehabilitasi, zona religi, budaya, dan sejarah, dan zona khusus.

Namun, kerap kali pemanfaatan Taman Nasional di Indonesia bermasalah. Pemahaman konservasi pada masyarakat dan penegak hukum pun kurang untuk meminimalisasi masalah. 

"Menurut saya zonasi Taman Nasional harus dibentuk dengan kesesuaian konservasi," kata Wawan di acara "BW in Training: Lika-liku Menjadi Kepala Taman Nasional", Jumat 11 November 2022 . Misalnya, kalau di Taman Nasional Komodo, di kawasan komodo berkembang biak jangan diganggu dan dieliminasi.

Sebenarnya, memang penting zona pemanfaatan sebagai sarana ekonomi dan edukasi tentang konservasi. Kawasan ini juga berguna untuk pembangunan dan kesejahteraan untuk masyarakat. Yang menjadi masalah, menurut Wawan, pada praktiknya kerap pemanfaatan alam sekitar Taman Nasional justru merusak ekologi itu sendiri. 

Selama ini Taman Nasional memiliki ancaman. Maraknya perburuan liar, dan bahkan perusakan ekosistem di kawasan lindung baik di daratan maupun lautan. Sementara, kehadiran pariwisata justru mengganggu hewan dan habitatnya. 

"Ngebom ikan itu korupsi," kata Wawan. "Pengeboman ikan itu merusak kehidupan satwa, alam, dan manusia. Kalau dibom, terumbu karang rusak, dan ikan tidak bisa berkembang biak, nelayan sekitar yang susah cari tangkapan." Hal itu disebabkan minimnya pemahaman masyarakat Indonesia tentang konservasi.

Maka ia menyerukan, pengetahuan konservasi harus ada di kurikulum pendidikan. Kurikulum ini tidak hanya untuk sekolah formal dari tingkat dasar, tetapi juga di akademi militer seperti kepolisian dan tentara.