Nationalgeographic.co.id—Kekayaan alam Indonesia begitu melimpah. Keasriannya dilindungi dalam berbagai cagar alam dan taman nasional yang begitu luas untuk dijelajahi. Di setiap perlindungan itu, ada spesies flora dan fauna yang terancam punah dan para pegiat konservasi berusaha demi masa depan mereka dan kita.
Ide kawasan perlindungan alam itu tercetus oleh Sijfert Hendrik Koorders, seorang botani Belanda yang bekerja di Kebun Raya Bogor. Pada awalnya, ia merasa prihatin melihat Hindia Belanda sebagai negeri koloni diperas Kerajaan Belanda demi kepentingannya di Eropa.
Awal mulanya ke Hindia, saat itu usianya 21 tahun pada 1884. Dia datang ke Hindia Belanda berdasarkan Surat Keputusan Mentri Koloni Belanda sebagai rimbawan. Di masa-masa berikutnya, ia menjadi Distrik Hutan di beberapa tempat seperti di Jepara dan Purworejo.
Karena begitu melimpahnya flora dan fauna, banyak peneliti yang menganggap Hindia Belanda adalah surganya penelitian. Tetapi, bagi Koorders, Hindia Belanda bagaikan malapetaka.
Misalnya, perdagangan dan perburuan burung cenderawasih sangat marak sejak era VOC. Burung nirwana itu diburu karena bulunya bernilai mahal untuk mode busana di Prancis dan Inggris.
"Saya punya data hampir kurang lebih 500.000 ekor burung cenderawasih diekspor sekitar 1800-an," kata Pandji Yudistira Kusumasumantri. Dia adalah mantan Kepala Bidang III Wilayah Balai Besar KSDA Jawa Barat di Ciamis periode 2008 sampai 2010. Ketika pensiun, ia mengumpulkan data dan menulis tentang S.H. Koorders dalam buku berjudul Sang Pelopor.
"Terjadilah malapetaka yang hebat di dalam bidang konservasi pada burung cenderawasih. Belum pada masalah pemburuan liar, belum lagi kepada pembukaan lahan untuk pertanian dan sebagainya," ujarnya dalam Bincang Redaksi-48 pada 19 Mei 2022 bertajuk Koorders.
Baca Juga: Kesadaran Pemerintah Kolonial Hindia Belanda untuk Melestarikan Hutan
Baca Juga: Repotnya Petugas Kebersihan Sampah di Surabaya Semasa Hindia Belanda
Baca Juga: Kebijakan Agraria Raffles Menjadi Dasar Pertanahan di Hindia-Belanda
Baca Juga: Catatan Pelancong tentang Rumah Candu di Pontianak Masa Hindia Belanda
Pandji menyampaikan, peristiwa ini bahkan diungkap oleh zoolog pertanian J.C. Koningsberger untuk mencari sebab makin sirnanya burung cenderawasih. Perburuan dan perdaganganlah yang membuatnya demikian. Sehingga pemerintah menerbtikan undang-undang pertama untuk perlindungan binatang dan burung liar di tahun 1909.
Malapetaka ini membuat S.H. Koorders kemudian mendirikan Nederlandsch Indische Vereeniging tot Natuurbescherming, sebuah asosiasi perlindungan alam di Bogor. Asosiasi itu berisikan oleh rimbawan, peneliti, dan pegiat lingkungan Hindia Belanda seperti Karel Albert Rudolf Bosscha, dan bahkan Bupati Kutoarjo Poerbo Atmodjo yang dikenal membuat perlindungan air dan reboisasi.
"Di organisasi itu, saya menemukan masalah laporan pertama organisasi 1912 dan 1913 menghimpun semua kawasan yang akan ditunjuk sebagai cagar alam," terang Pandji. "Sebetulnya regelasi tentang konservasi alam itulah dibentuk dari kelompok di sekitar Koorders di Kebun Raya Negara Bogor. Semua rancangan-rancangan disusun untuk menjaga potensi kekayaan alam di Indonesia."
Pengaruh asosiasi ini berpengaruh pada pemutusan kebijakan Gubernur Jenderal Alexander Willem Frederik Idenburg (periode 1909-1916). Pemerintah membuat UU yang menjadi dasar penunjukan kawasan konservasi yang diusulkan asosiasi itu.
"Saya menemukan, dari 38 gubernur jenderal zaman VOC sampai 1941, hanya ada enam gubernur jenderal yang berkaitan dengan konservasi alam," ia mengungkapkan.
Kegetolan konservasi pun makin marak ketika Idenburg diganti oleh Johan Paul van Limburg Stirum. Dia adalah mantan Duta Besar Belanda di Swedia dan Korea, yang dikenal sebagai pencinta alam.
Selain itu, ia menjadi anggota komisi Belanda untuk perlindungan alam internasional, jelas Pandji. Saat van Limburg Stirum menjabat, dia menaruh konsentrasi terhadap permasalahan konservasi alam. Dalam lima tahun menjabat, ia adalah gubernur jenderal yang paling sering menunjuk kawasan konservasi.
"Karena jabatan lima tahun, Stirum menunjuk hampir 70 kawasan. Tingkat gubernur jenderal yang paling banyak, seperti Taman Nasional Lorentz," lanjut Pandji. Penetapan kawasan itu bahkan masih berlangsung walau S.H. Koorders telah wafat di pada 16 November 1919 di Cikini, Batavia.
Sijfert Hendrik Koorders lahir di Bandung, Hindia Belanda 29 November 1863. Dia adalah anak semata wayang Daniel Koorders dan Maria Henriette Boeke. Ayahnya begitu pandai dan mendapat gelar doktor di tiga fakultas berbeda di Utrecht University, yang lebih dikenal sebagai teolog.
Ketika S.H. Koorders berusia enam tahun, ayahnya meninggal. Ia bersama orangtuanya pindah ke Haarlem, Belanda. Mulanya, keluarganya berharap agar ia menjadi teolog seperti ayahnya, tetapi pandangan Koorders berubah ketika melihat Haarlem begitu indah ditanami pohon cantik nan langka oleh wali kotanya.
Ia kemudian mengambil pendidikan tumbuhan, dan melanjutkan kuliahnya di Jerman. Sampai pada akhirnya, ia bekerja di Hindia Belanda berdasarkan penugasan Mentri Koloni.
Di Kebun Raya Negara Bogor, ia bekerja sebagai Dinas Kehutanan. Dia juga menjadi peneliti bidang biologi hutan. Bahkan ia menghasilkan karya besar yakni Bijdragen tot de kennis der boomsoorten van Java sebanyak 13 buku. Isinya adalah menomori, menganalisis manfaat, dan membuat taksonomi semua pohon di Jawa. Kini karya itu tersimpan di Museum Manggala Wanabakti, Jakarta.
Usahanya dalam menetapkan kawasan cagar alam bersama asosiasinya, membuat ia dianugerahi sebagai pelopor kehutanan oleh Pandji. Pandji juga menjelaskan bahwa Koorders juga menjadi pelopor eksplorasi dan teknologi kayu di Balai Penyelidikan Kehutanan.
"Ini saya pikir tidak menemukan orang Belanda seperti ini," kata Pandji. Dia juga menemukan ada sebelas orang, termasuk naturalis Alfred Russel Wallace, menuliskan testimoni tentang S.H. Koorders setelah wafat. Cagar Alam Nusa Gede Panjalu di Ciamis tahun 1921 sempat diganti namanya oleh Gubernur Jenderal, menjadi Cagar Alam Koorders karena kegigihannya.
Simak selengkapnya dalam Penggagas suaka alam di negeri yang diperas di majalah National Geographic Indonesia edisi Mei 2022.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR