Nationalgeographic.co.id—“Kejahatan lain, bahkan lebih hebat, yang berdampak tak hanya pada perorangan, melainkan juga seluruh bangsa adalah,” kata Ida Laura Reyer Pfeiffer, “pemakaian candu.” Namun, dia melanjutkan kisahnya, pemerintah Hindia Belanda tidak berusaha memberangus. “Sebaliknya, tampak pemerintah justru menggunakan kuasa untuk membesarkannya.”
Ida Pfeiffer, demikian nama sohornya, merupakan pelancong asal Austria yang mengelilingi dunia pada pertengahan abad ke-19. Dia merupakan perempuan tomboi yang gemar melancong sendiri, mengarungi samudra sejauh 240.000 kilometer, dan 32.000 kilometer perjalanan darat di empat benua! Dia menjamahi Hindia Belanda selama 18 bulan dan menorehkan sejuta kisah tentang negeri itu. Kota pertama di Hindia Belanda yang disinggahinya adalah Pontianak, selama Februari-April 1852.
Dia berkesempatan mengunjungi sebuah rumah candu pada suatu malam di pecinan Pontianak. Di rumah itu pengunjung bisa menikmati isapan candu. Di dalamnya tampak para pecandu yang duduk atau berbaring di alas. Di sebelah mereka terdapat sebuah lampu api untuk menyalakan pipa candu. Di beberapa rumah candu, beberapa perempuan hadir untuk sekadar menambah gairah bagi pengunjung yang semuanya lelaki.
“Saya tidak dapat menggambarkan lagi, betapa mereka yang tak lagi punya kesadaran, namun masih bisa mengikis atom candu yang tersisa dengan tetap berhati-hati,” ungkapnya. “Sebuah gambaran mengerikan yang dapat disaksikan di tempat-tempat itu.”
Kadang candu memiliki efek menggembirakan untuk beberapa saat, demikian catat Ida. Dalam pengaruh barang sialan itu mereka bisa mengobrol dan tertawa lepas sampai tak tersadar, namun begitu terbangun mereka seolah bersukacita dalam mimpi yang menyenangkan.
Di Kalimantan, ladang candu memberikan bagian pendapatan yang besar bagi pemerintah Hindia Belanda. Ketika Ida berkunjung di kawasan itu, pemakaian candu memang sedang marak, jumlah pemakai meningkat setiap tahun.
“Sejumlah keuntungan yang cukup membuat kita semakin mirip dengan penjahat yang menjijikkan.”
Dalam catatan perjalanannya, dia memberikan tanggapan atas situasi di Pontianak saat itu, yang tampaknya menjadi gambaran umum untuk Hindia Belanda. "Ini benar-benar aneh," ungkap Ida. "Pemerintah Eropa membentuk di satu sisi sebuah koloni dan negara, sebagaimana yang mereka katakan, untuk menyebarkan peradaban dan agama Kristen. Namun di sisi lain, mereka mendukung tujuan baru dalam kejahatan yang secara langsung bertentangan dengan prinsip-prinsip agama Kristen dan kemajuan peradaban."
Ida melontarkan sebuah retorika. Menurutnya, bagaimana mungkin orang Eropa—dia menyebutnya dengan kita—meminta bangsa pribumi tak beradab untuk menghormat, tatkala pribumi dibiarkan menyaksikan hal yang tak berprinsip dan memalukan itu terjadi. Perdagangan candu telah dilegalkan dan menyumbang laba besar untuk Hindia Belanda. “Sejumlah keuntungan yang cukup membuat kita semakin mirip dengan penjahat yang menjijikkan.”
Baca Juga: Kengerian Pelancong Perempuan Pertama di Batak pada Abad ke-19
Baca Juga: Candu, Perbudakan, dan Kebobrokan Kolonial di Pontianak Abad Ke-19
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR