Nationalgeographic.co.id—Setiap bulan purnama punya nama, dan April dikenal dengan Pink Moon. Bukan karena warnanya benar-benar merah muda, melainkan karena budaya dan alam yang mengilhami sebutannya.
Mulai dari Wolf Moon di Januari hingga Cold Moon di Desember, nama-nama ini berakar dari tradisi masyarakat adat Amerika Utara dan para petani Eropa yang mengaitkan fase bulan dengan musim, panen, dan kehidupan sehari-hari.
Di balik cahaya purnama yang memesona, tersimpan kisah-kisah penamaan yang menarik dan sarat makna. Pelajari tentang siklus bulan, serta asal usul berbagai nama yang diberikan untuk bulan purnama setiap bulan sepanjang tahun.
Fase-Fase Bulan
Setiap bulan, Bulan mengalami fase-fasenya—menyusut dan membesar dalam siklus konstan dari bulan baru ke bulan purnama, lalu kembali lagi.
Siklus bulan ini terjadi karena Bulan tidak menghasilkan cahaya sendiri. Cahaya keperakan yang kita lihat adalah pantulan sinar Matahari dari permukaan Bulan yang abu-abu polos.
Selain itu, cara kita melihat Bulan dipengaruhi oleh fenomena gravitasi yang disebut tidal locking. Artinya, waktu yang dibutuhkan Bulan untuk berputar pada porosnya hampir sama dengan waktu yang dibutuhkan untuk mengelilingi Bumi.
Akibatnya, sisi yang sama dari Bulan selalu menghadap Bumi, meskipun kedua sisi tetap menerima cahaya matahari selama orbit berlangsung. Jadi, tidak ada sisi Bulan yang benar-benar gelap selamanya.
Saat Bulan, Bumi, dan Matahari bergerak dalam tarian orbitnya, bagian Bulan yang terkena cahaya matahari akan tampak berbeda dari perspektif kita.
Inilah yang menciptakan serangkaian fase bulan yang dapat diprediksi. Dalam satu bulan, kita bisa menyaksikan delapan fase utama Bulan, tergantung seberapa banyak permukaannya yang tampak bercahaya dari Bumi dan apakah cahaya tersebut sedang bertambah atau berkurang.
Bulan baru (New Moon)
Pada fase ini, Bulan berada di antara Bumi dan Matahari. Bagian Bulan yang menghadap kita tidak terkena cahaya, sehingga hampir tidak terlihat di langit malam. Kita hanya bisa menyaksikan bulan baru saat terjadi gerhana matahari.
Source | : | National Geographic |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR