Nationalgeographic.co.id— “Pontianah,” demikian Ida Laura Reyer Pfeiffer menyebut Kota Pontianak, “adalah permukiman Belanda di Timur yang pertama kali saya datangi.” Kemudian dia melanjutkan bercerita, “Saya mengakui, memasuki kawasan ini dengan segenap perasaan tak nyaman.”
Ida telah melewati perjalanan panjang di daerah pedalaman yang belum dipasifikasi Kapten Brooke—sang penguasa Sarawak. Dari Sarawak, usai menyaksikan trofi kemenangan perang berupa dua kepala manusia yang baru saja ditebas, Ida melanjutkan perjalanan melancongnya ke Pontianak.
Dia melewati jalanan setapak menuju Beng-Kallang Boenoet (Pangkalanbun, kini Ibu kota Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah). Saat itu daerah Pangkalanbun belum diklaim sebagai teritori Hindia Belanda. Sultan memberikan bantuan kepada Ida sebuah perahu kecil untuk perjalanan berikutnya.
Setelah menyusuri Sungai Kapuas, dia bermalam di Sintang. Baru empat hari kemudian dia tiba di Pontianak pada 6 Februari 1852. Tujuan Ida di Pontianak adalah menyaksikan tambang intan di Landak—dia menyebutnya dengan “Landah”. Kini, jarak Pontianak-Landak sekitar 150 kilometer, namun pada zaman itu bisa mencapai dua kali lipatnya—separuhnya ditempuh dengan jalan kaki.
Ida, seorang perempuan asal Austria, melanglang buana hingga ke Hindia Belanda pada 1852. Dia berjejak di kota Khatulistiwa itu selama Februari-April. "Waktu yang saya miliki selama di Pontianah telah saya gunakan sebaik-baiknya," ungkapnya. Dia menantang teriknya matahari mencari serangga untuk koleksi spesimennya. "Saya menggunakan kesenangan yang kekanak-kanakan dengan berjalan kaki ke persimpangan khatulistiwa, lokasinya tak jauh dari pusat Pontianah."
Gambaran tentang Belanda di mata para pelancong lainnya—dan juga Ida— saat itu adalah negeri yang tidak ramah dan sulit mendapatkan akses masuk. Tampaknya itulah yang menjadi alasan ketidaknyamanannya ketika menjejakkan kaki di Hindia Belanda. “Begitu acuh tak acuh terhadap segala sesuatu yang tidak berhubungan dengan kepentingan yang berkaitan dengan uang mereka.”
Baca juga: Kengerian Pelancong Perempuan Pertama di Batak pada Abad ke-19
“Tidak ada hotel atau penginapan, dan sangat sedikit orang Eropa yang berkunjung ke Borneo,” ungkapnya. Namun, dia beruntung bisa bertemu dengan Nyonya T.J. Wilier, istri seorang Residen Pontianak, yang mempersilakannya bermalam di rumahnya. “Sebuah undangan yang saya terima dengan senang.”
“Saya dapat menggunakan waktu untuk sedikit berkenalan dengan Pontianah,” ungkap Ida. “Situasi kota tampak segala sesuatunya menyenangkan,” tulisnya, "meskipun tiada satu pun hotel atau penginapan."
Ketika bermalam, Ida memastikan surat-surat jalannya tidak hancur akibat dimakan semut. Dia punya kebiasaan untuk mengumpulkan spesimen serangga untuk dijual kepada kolektor pribadi atau museum di Wina. “Barang-barang yang dapat dimakan harus dapat diselamatkan dari kerusakan dengan cara memasukkan semut itu ke dalam wadah kaleng tertutup.”
Ida kerap menolak saran pejabat setempat untuk menggunakan pemandu. Dia hanya memohon dibekali surat jalan yang ditujukan untuk penguasa atau raja di kawasan yang akan dilaluinya. Ida, bersama pendayung perahu, berangkat ke Landak dengan menyusuri sungai ke arah hulu.
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR