Kota Pontianak terletak sekitar 20 kilometer dari bibir pantai. Sehamparan dataran, tanpa tanaman padi, dan terlindung dari pepohonan rapat. Di dekat kota terdapat sebuah benteng yang dikelilingi dinding tanah, yang dijaga sekitar 130 serdadu. Pemerintahan Eropa dibentuk oleh residen, yang didukung sekitar enam pejabat, beberapa perwira militer, dan seorang dokter. Ketika Ida bertandang ke Pontianak, penduduk kota itu sekitar enam ribu jiwa.
“Tempat tinggal Sultan menghadap pantai,” demikian kata Ida, yang mungkin maksudnya adalah tepian Sungai Kapuas yang bermuara di lautan lepas. Dia juga membandingkan para pangeran di India dan pangeran Kalimantan. Satu-satunya perbedaan. menurutnya, pangeran di Kalimantan meminta bantuan Belanda atas kemauan mereka sendiri, yang sejatinya bertentangan dengan keinginan mereka.
“Para pangeran Borneo tidak memiliki kekuatan,” ungkapnya. “Di satu sisi untuk menyelesaikan perselisihan antara warga Melayu, Cina, dan Dayak; sementara di sisi lain mengurangi konspirasi yang kerap terjadi dalam keluarga mereka sendiri.” Oleh karena itu, demikian ungkap Ida, mereka rela menerima beban atau kewajiban dari pemerintah Hindia Belanda untuk melindungi kepentingan mereka. "Banyak sultan dan pangeran yang mendapatkan pensiun dari Belanda, sebagai kompensasi hak mereka yang telah dicabut."
“Mereka meninggalkan kedamaian di tanah mereka lewat berbagai pajak, pencucian emas dan tambang intan di wilayah mereka,” demikian ungkapnya. “Namun, Belanda mengklaim punya monopoli garam dan penerimaan dari opium, juga komoditi lainnya”
Baca juga: Sang Sultan Yogya dan Tamansari dalam Catatan Perempuan Eropa Abad Ke-19
Di Pontianak pertengahan abad ke-19, selain kelas ningrat, ada juga kelas budak. Ida memaparkan bahwa para budak diambil dari tahanan perang, dan para pengutang yang tak melunasi hutangnya. Juga bagi siapa saja yang selama tiga tahun tidak membayar pajak kepada sultan akan menjadi budaknya, catat Ida.
“Menurut hukum yang barbar,” ungkap Ida menggambarkan, “pengutang harus bersedia mengabdikan dirinya sebagai budak kepada pemberi utang, sampai utangnya lunas.” Kemudian Ida menambahkan, “Apabila pengutang tadi mati sebelum lunas, istri, anak, atau keluarga dekatnya akan menggantikan posisinya.”
Kisah ini merupakan cuplikan dari A Lady's Second Journey Round the World: From London to the Cape of Good Hope, Borneo, Java, Sumatra, Celebes, Ceram, the Moluccas, Etc., California, Panama, Peru, Ecuador, and the United States, Volume 1. Buku tersebut merupakan catatan perjalanan Ida Laura Reyer Pfeiffer yang terbit di London pada 1855.
“Saya tidak dapat menggambarkan lagi, betapa mereka yang tak lagi punya kesadaran, namun masih bisa mengikis atom candu yang tersisa dengan tetap berhati-hati,” ungkapnya. “Sebuah gambaran mengerikan yang dapat disaksikan di tempat-tempat itu.”
Baca juga: Misi Penjelajah Norwegia Mencari Ras Manusia Berekor di Kalimantan
Di Kalimantan, candu memberikan bagian pendapatan yang besar bagi pemerintah Hindia Belanda. Ketika Ida berkunjung di kawasan itu, pemakaian candu memang sedang marak, jumlah pemakai meningkat setiap tahun.
Dalam catatan perjalanannya, dia memberikan tanggapan atas situasi di Pontianak saat itu, yang tampaknya menjadi gambaran umum untuk Hindia Belanda. "Ini benar-benar aneh," ungkap Ida. "Pemerintah Eropa membentuk di satu sisi sebuah koloni dan negara, sebagaimana yang mereka katakan, untuk menyebarkan peradaban dan agama Kristen. Namun di sisi lain, mereka mendukung tujuan baru dalam kejahatan yang secara langsung bertentangan dengan prinsip-prinsip agama Kristen dan kemajuan peradaban."
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR