Nationalgeographic.co.id—Di era Orde Baru, lagu "Bento" karya Iwan Fals menjadi salah satu lagu dengan lirik paling keras dalam mengkritik pejabat pemerintahan dan pengusaha korup yang menjamur di kala itu. Adapun di era Reformasi saat ini lagu "Bayar Bayar Bayar" karya band Sukatani menjadi salah satu lagu dengan lirik paling keras dalam mengkritik polisi korup.
"Mau korupsi, bayar polisi. Mau gusur rumah, bayar polisi. Mau babat hutan, bayar polisi. Mau jadi polisi, bayar polisi." Begitulah sebagian penggalan lirik lagu dari band asal Purbalingga dengan genre musik punk new wave tersebut.
Di Indonesia, berbagai aliran musik, seperti dangdut, campursari, hingga hardcore telah lama digunakan sebagai media kritik sosial dan pembangunan. Konten musik Indonesia berkembang seiring dengan realitas sosial yang ada.
Bagaimanapun, masyarakat termasuk para musisi memiliki peran penting dalam pembangunan karena partisipasi masyarakat merupakan prasyarat bagi sebuah proses pembangunan. Partisipasi dapat dilakukan melalui penyampaian aspirasi masyarakat terhadap realitas yang dihadapi.
Terkait hal tersebut, budaya populer menjadi salah satu bentuk media yang umum dimanfaatkan oleh masyarakat. Salah satunya adalah musik. Melalui musik, lirik, pertunjukan, dan simbol tertentu, masyarakat dapat mengartikulasikan inisiatif dan kritik sosial bagi proses pembangunan.
Kepala Pusat Studi Pembangunan (Sodec), Program Studi Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK), Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada (UGM), Hempri Suyatna, mengakui realitas tersebut. Aliran musik apa pun, termasuk dangdut dan campursari, dapat menginspirasi banyak orang untuk menyampaikan kritik sosial dan protes.
“Dangdut dan campursari memiliki identitas untuk menyampaikan kritik bagi pembangunan. Jenis musik ini dekat dengan masyarakat,” kata Hempri dalam Seminar Nasional bertema 'Musik: Kritik Sosial dan Pembangunan' yang digelar di Perpustakaan Digital FISIP beberapa waktu lalu, seperti dikutip dari laman UGM.
Menurut Hempri, banyak lagu yang diciptakan untuk mengkritisi konstruksi dan masalah sosial yang ada. Dangdut dan campursari menjadi salah satu media kritik sosial yang dekat dengan akar rumput.
Musik dangdut tidak hanya menghibur penikmatnya, tetapi juga masuk ke panggung politik seperti yang ditunjukkan musisi papan atas H. Rhoma Irama bersama Partai Persatuan dan Pembangunan pada Pemilu 1977 dan 1982.
“Sampai saat ini, belum ada musisi lain yang mampu menggantikan pesona kritik yang ditulis Rhoma Irama,” ujarnya.
Baca Juga: Mengapa Banyak Orang Memilih Kabur Aja Dulu dari Negara Mereka?
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR