Para pembicara dalam seminar di UGM tersebut berusaha meninjau peran musik di masyarakat Indonesia sebagai media artikulasi kritik, tuntutan, dan inisiatif dalam upaya memimpin perubahan sosial dan pembangunan.
Selain menghadirkan Hempri Suyatna sebagai pembicara, seminar itu juga menghadirkan Prof. Andrew N. Weintraub dari University of Pittsburg yang membahas tentang dangdut dan demokrasi, serta Rizky Sasasoni yang membahas tentang musik indie dan kritik sosial.
Prof. Andrew N. Weintraub menambahkan pada masa Orde Baru, beberapa lagu Rhoma Irama dilarang beredar karena dianggap mengganggu stabilitas nasional. Saat itu musik dangdut menjadi simbol perlawanan terhadap rezim militer Orde Baru.
“Begitu pula Iwan Fals. Baik Iwan Fals maupun Rhoma Irama sama-sama melontarkan kritik. Lagu-lagu Iwan, meski bukan berasal dari kalangan bawah, tetapi lagu-lagunya untuk mereka," jelasnya.
"Sementara Rhoma Irama, meski dimusuhi, tetapi lagu-lagunya mampu membentuk masyarakat yang terlihat dari lirik-lirik yang ditulisnya pada kondisi saat itu,” imbuhnya lagi.
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR