Nationalgeographic.co.id—Upaya pengendalian hama di lahan pertanian tak lagi hanya bergantung pada racun atau bahan kimia. Kini, pendekatan berbasis ekologi mulai diadopsi secara luas untuk pengendalian hama pertanian.
Salah satu cara yang digunakan adalah melalui pemanfaatan predator alami. Cara ini terutama dipakai dalam mengatasi serangan tikus yang menjadi momok di lahan pertanian.
Sebuah solusi alami yang terbukti efektif dan efisien adalah pemanfaatan burung hantu jenis Tyto alba sebagai predator alami utama hama tikus. Dalam kondisi populasi hama yang normal, kehadiran burung hantu Tyto alba mampu menjaga keseimbangan populasi tikus tanpa perlu penggunaan bahan kimia atau racun berbahaya yang dapat mencemari lingkungan.
Tyto alba merupakan spesies burung hantu yang dikenal adaptif terhadap iklim tropis dan tidak agresif terhadap manusia. Tyto alba menjadi pilihan utama dalam strategi pengendalian hama yang lebih ramah lingkungan.
Peneliti Ahli Madya yang juga Kepala Pusat Riset Tanaman Pangan di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Yudhistira Nugraha, mengatakan bahwa Tyto alba memiliki kemampuan memangsa tikus dalam jumlah signifikan di alam terbuka. Seekor burung hantu Tyto alba dewasa mampu memakan beberapa ekor tikus per malam.
Namun, Yudhistira menekankan bahwa predator alami tidak akan cukup efektif jika terjadi ledakan populasi tikus (outbreak). Oleh karena itu, strategi pengendalian harus bersifat komprehensif dengan menggabungkan metode mekanik seperti grobyokan, pengemposan sarang, serta sistem trap barrier sebagai tindakan preventif.
“Pendekatan terpadu ini menjadi kunci agar populasi tikus bisa ditekan dengan cepat sebelum stabil kembali dengan bantuan predator alami,” jelas Yudhistira belum lama ini, seperti dikutip dari laman BRIN.
Penggunaan burung hantu sebagai pengendali hama juga memerlukan pengelolaan yang cermat. Jika populasi Tyto alba tidak dikendalikan dan makanan utama mereka menipis, mereka bisa memangsa spesies lain seperti burung kecil, kelelawar, bahkan ternak kecil.
“Dalam jangka panjang, hal ini bisa mengganggu keseimbangan ekosistem lokal. Oleh karena itu, diperlukan pemantauan dan pengaturan populasi secara berkelanjutan,” kata Yudhistira.
Untuk mendukung konservasi dan efektivitas burung hantu, salah satu praktik terbaik yang dilakukan petani adalah menyediakan rumah burung hantu atau rubuha. Bentuk rubuha adalah berupa kotak sarang di atas tiang setinggi 4 hingga 5 meter di lahan pertanian.
Karena Tyto alba tidak membangun sarang sendiri, rubuha menjadi kunci keberhasilan program konservasi ini sekaligus menjadi fasilitas penting bagi mereka untuk menetap dan berkembang biak.
Baca Juga: Pemburu nan Cekatan, Mengapa Burung Hantu Penting bagi Ekosistem?
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR