Warisan Kolonialisme Membuat Warga Lebih Rentan terhadap Bencana Alam

By Utomo Priyambodo, Jumat, 18 November 2022 | 16:00 WIB
Pemandangan Aceh setelah dihantam gempa bumi dan tsunami pada 2004. (Heri Mardinal/Getty Images)

Baca Juga: Mendesak Kelanjutan Pembahasan RUU Penanggulangan Bencana di Indonesia

Baca Juga: Mengapa Banyak Orang di Dunia Merayakan Kematian Ratu Elizabeth?

Terkadang ini juga menimbulkan kekerasan. Di St Vincent, Karibia, survei tanah subur vulkanik di daerah yang awalnya "dicadangkan" untuk masyarakat adat, menyebabkan perolehan tanah melalui perambahan, penjualan sukarela, dan kekuatan militer. Ini akhirnya mengakibatkan dua perang saudara berupa Perang Karibia Pertama dan Kedua, dan pemindahan paksa suku Garifuna ke Honduras saat ini.

Selanjutnya, tanah itu digunakan untuk beberapa perkebunan gula terbesar di pulau itu, menggunakan tenaga kerja Afrika yang diperbudak untuk memproduksi gula, tetes tebu, dan rum untuk memenuhi permintaan Kerajaan Inggris di tempat yang sekarang kita ketahui berada di zona berisiko tinggi dari gunung berapi La Soufriere.

Pendirian perkebunan-perkebunan tersebut yang berubah menjadi permukiman masih bertahan hingga saat ini, dan permukiman paksa ini telah menimbulkan risiko yang lebih besar dari berbagai bahaya alam, termasuk letusan gunung berapi, tanah longsor, banjir dan badai tropis. Interaksi negara-negara bekas jajahan dengan proses bencana alam di dalam lanskap yang dieksploitasi adalah bagian dari warisan kolonial.

Masyarakat lokal sebenarnya memiliki perilaku budaya yang telah tertanam dalam hasil belajar dari pengalaman atas banyak siklus bahaya alam. Namun, perilaku tersebut dirusak oleh penjajah karena tidak sesuai dengan 'cita-cita' perilaku kolonial, yang mengarah pada keuangan, pendidikan, dan pengetahuan ilmiah.

Kini kita sebenarnya bisa belajar kembali pada kearifan lokal masyarakat adat atau setempat dalam memitigasi bencana alam. Jazmin menyebut Indonesia sebagai salah satu contohnya.

"Kearifan lokal gempa bumi di Indonesia telah menyebabkan adaptasi konstruksi rumah yang telah bertahan selama berabad-abad," tulis Jazmin.

Banyak rumah adat di Indonesia merupakan bangunan tahan gempa. Rumah-rumah adat yang tahan gempa ini umumnya berbentuk rumah panggung dan terbuat dari kayu, seperti Rumoh Aceh, Rumah Adat Woloan, Rumah Kaki Seribu, dan sejenisnya.

Contoh kearifan lokal lainnya terkait bencana alam adalah tradisi cerita lisan terkait smong dari Simeulue. Ini adalah kearifan budaya lokal yang dirawat masyarakatnya secara turun temurun terkait upaya penyelamatan dan evakuasi mandiri besar-besaran dari gelombang pasang air laut yang diawali oleh gempabumi. Kearifan lokal ini tersimpan baik dalam syair cerita smong.

Istilah "smong" setidaknya mulai dikenal masyarakat sejak 4 Januari 1907. Kala itu terjadi tragedi tsunami yang melanda wilayah perairan Simeulue. Peristiwa itu tercatat dalam buku Belanda berjudul S-Gravenhage karya Martinusnijhif pada tahun 1916, yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia.

Dari peristiwa tersebut, masyarakat Simeulue kemudian mulai menyampaikan peringatan tradisional tsunami melalui "tutur" atau lisan secara turun temurun dari generasi ke generasi sehingga menjadi memori kolektif. Bahkan riwayat syair tentang smong dapat ditemukan pada senandung pengantar tidur anak-anak di Pulau Simeulue.

Pada peristiwa Tsunami Aceh 2004 silam, Pulau Simeulue juga menjadi salah satu wilayah yang terkena gelombang tsunami pertama kali. Lebih dari 1.700 rumah hancur tersapu tsunami yang dipicu oleh gempabumi berkekuatan 9,1-9,3 skala magnitudo, akan tetapi jumlah korban jiwa yang meninggal di pulau itu "hanyalah" 6 jiwa, jauh lebih kecil dibanding jumlah korban di Aceh yang mencapai lebih dari 200 juta jiwa.