Warisan Kolonialisme Membuat Warga Lebih Rentan terhadap Bencana Alam

By Utomo Priyambodo, Jumat, 18 November 2022 | 16:00 WIB
Pemandangan Aceh setelah dihantam gempa bumi dan tsunami pada 2004. (Heri Mardinal/Getty Images)

Nationalgeographic.co.id - Sebuah ulasan ilmiah baru dari jurnal Nature Communications membahas bagaimana warisan praktik geosains kolonial telah menciptakan kerentanan jangka panjang terhadap bahaya alam.

"Di sini, saya mengeksplorasi konsekuensi berkelanjutan dari kolonialisme, bersama dengan tindakan yang dapat meningkatkan respons terhadap bahaya di masa depan dengan mengakui sepenuhnya dampak masa lalu kolonial untuk meningkatkan pemahaman kita tentang risiko bahaya alam," tulis Jazmin P. Scarlett, peneliti dari School of Environmental Sciences, University of East Anglia, Inggris, dalam sebuah ulasan yang terbit di jurnal tersebut pada 14 November 2022.

Menurut Jazmin, geosains berakar pada praktik kolonial. Agenda sejarah geosains adalah untuk membantu pertumbuhan kekayaan kerajaan kolonial dan sering kali dengan mengorbankan penduduk lokal melalui survei dan eksploitasi lanskap atau bentangan alam.

Kolonialisme dan kerugiannya terkadang diabaikan dalam penelitian bahaya alam dalam geosains. Ulasan ini mempertimbangkan pengaruh praktik kolonial dalam beberapa cara.

Salah satunya, kaum kolonial telah bertindak untuk menempatkan populasi lokal di lokasi yang lebih rentan terhadap berbagai bahaya, dengan warisan sejarah masih bergema di hari ini. Pengejaran sumber daya ekonomi tanpa henti telah memperkuat kerentanan dengan penghancuran mitigasi yang tersedia secara alami (seperti tutupan hutan), dan akhirnya penciptaan pengetahuan seputar bahaya alam didominasi oleh pemahaman dan praktik barat.

Meskipun kolonialisme sering dianggap historis, akibatnya masih terasa luas hingga saat ini. Geosains dianggap sebagai 'ilmu kolonial', yang telah dibentuk oleh isu-isu sosial dan politik dan agenda ekspansi kolonial.

Agenda kerajaan kolonial adalah untuk mensurvei dan memetakan lanskap, pemandangan air, dan sumber daya alam di tanah yang dijajah dan diduduki. Survei dan pemetaan sumber daya alam merupakan bagian dari transfer pengetahuan teknis dan spesialis oleh kolonialisme Eropa.

Banyak ekspedisi berusaha mendokumentasikan lanskap sebagai pembenaran siapa yang harus hidup dan menggunakan tanah, serta menggunakan geografi fisik untuk menunjukkan inferioritas atau superioritas ras manusia yang berevolusi di lanskap yang berbeda.

"Secara historis, penduduk asli lokal dieksploitasi secara intelektual dan sosial ekonomi untuk mendapatkan akses dan mengekstraksi sumber daya alam yang menguntungkan kekuatan kolonial, biasanya dengan melanggar pemahaman budaya masyarakat adat dan pentingnya sebuah situs bagi mereka," tulis Jazmin.

Baca Juga: BNPB Belajar Mitigasi Tsunami dari Smong, Kearifan dari Simeulue

Baca Juga: Ketika Sains dan Kearifan Lokal Rajaampat Berpadu untuk Konservasi

Baca Juga: Anak Zaman Sekarang Bakal Lebih Sering Menghadapi Bencana Alam

Baca Juga: Mendesak Kelanjutan Pembahasan RUU Penanggulangan Bencana di Indonesia

Baca Juga: Mengapa Banyak Orang di Dunia Merayakan Kematian Ratu Elizabeth?

Terkadang ini juga menimbulkan kekerasan. Di St Vincent, Karibia, survei tanah subur vulkanik di daerah yang awalnya "dicadangkan" untuk masyarakat adat, menyebabkan perolehan tanah melalui perambahan, penjualan sukarela, dan kekuatan militer. Ini akhirnya mengakibatkan dua perang saudara berupa Perang Karibia Pertama dan Kedua, dan pemindahan paksa suku Garifuna ke Honduras saat ini.

Selanjutnya, tanah itu digunakan untuk beberapa perkebunan gula terbesar di pulau itu, menggunakan tenaga kerja Afrika yang diperbudak untuk memproduksi gula, tetes tebu, dan rum untuk memenuhi permintaan Kerajaan Inggris di tempat yang sekarang kita ketahui berada di zona berisiko tinggi dari gunung berapi La Soufriere.

Pendirian perkebunan-perkebunan tersebut yang berubah menjadi permukiman masih bertahan hingga saat ini, dan permukiman paksa ini telah menimbulkan risiko yang lebih besar dari berbagai bahaya alam, termasuk letusan gunung berapi, tanah longsor, banjir dan badai tropis. Interaksi negara-negara bekas jajahan dengan proses bencana alam di dalam lanskap yang dieksploitasi adalah bagian dari warisan kolonial.

Masyarakat lokal sebenarnya memiliki perilaku budaya yang telah tertanam dalam hasil belajar dari pengalaman atas banyak siklus bahaya alam. Namun, perilaku tersebut dirusak oleh penjajah karena tidak sesuai dengan 'cita-cita' perilaku kolonial, yang mengarah pada keuangan, pendidikan, dan pengetahuan ilmiah.

Kini kita sebenarnya bisa belajar kembali pada kearifan lokal masyarakat adat atau setempat dalam memitigasi bencana alam. Jazmin menyebut Indonesia sebagai salah satu contohnya.

"Kearifan lokal gempa bumi di Indonesia telah menyebabkan adaptasi konstruksi rumah yang telah bertahan selama berabad-abad," tulis Jazmin.

Banyak rumah adat di Indonesia merupakan bangunan tahan gempa. Rumah-rumah adat yang tahan gempa ini umumnya berbentuk rumah panggung dan terbuat dari kayu, seperti Rumoh Aceh, Rumah Adat Woloan, Rumah Kaki Seribu, dan sejenisnya.

Contoh kearifan lokal lainnya terkait bencana alam adalah tradisi cerita lisan terkait smong dari Simeulue. Ini adalah kearifan budaya lokal yang dirawat masyarakatnya secara turun temurun terkait upaya penyelamatan dan evakuasi mandiri besar-besaran dari gelombang pasang air laut yang diawali oleh gempabumi. Kearifan lokal ini tersimpan baik dalam syair cerita smong.

Istilah "smong" setidaknya mulai dikenal masyarakat sejak 4 Januari 1907. Kala itu terjadi tragedi tsunami yang melanda wilayah perairan Simeulue. Peristiwa itu tercatat dalam buku Belanda berjudul S-Gravenhage karya Martinusnijhif pada tahun 1916, yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia.

Dari peristiwa tersebut, masyarakat Simeulue kemudian mulai menyampaikan peringatan tradisional tsunami melalui "tutur" atau lisan secara turun temurun dari generasi ke generasi sehingga menjadi memori kolektif. Bahkan riwayat syair tentang smong dapat ditemukan pada senandung pengantar tidur anak-anak di Pulau Simeulue.

Pada peristiwa Tsunami Aceh 2004 silam, Pulau Simeulue juga menjadi salah satu wilayah yang terkena gelombang tsunami pertama kali. Lebih dari 1.700 rumah hancur tersapu tsunami yang dipicu oleh gempabumi berkekuatan 9,1-9,3 skala magnitudo, akan tetapi jumlah korban jiwa yang meninggal di pulau itu "hanyalah" 6 jiwa, jauh lebih kecil dibanding jumlah korban di Aceh yang mencapai lebih dari 200 juta jiwa.