Nationalgeographic.co.id—Cerita tentang manusia tidak akan pernah ada jika kita tidak pernah ada. Setidaknya kalimat itulah yang menjadi pandangan falsafah dua sineas Chandra Sembiring dan Yudi Datau, dalam memproduksi film "Tegar". Film ini memberikan gagasan bahwa perlunya menciptakan ruang inklusif di Indonesia, terutama bagi difabel.
Dalam ceritanya, Tegar (diperankan oleh Muhammad Alfi Tegarajasa), seorang anak difabel berusia 10 tahun yang ingin bersekolah dan memiliki teman. Pada ulang tahunnya yang ke-10, kakeknya (diperankan Deddy Mizwar), berjanji agar Tegar bisa sekolah. Akan tetapi terhalang oleh Wida (diperankan Sha Ine Febriyanti) yang merupakan ibu Tegar, dan kondisi lingkungannya. Wida khawatir putranya tidak diterima oleh anak-anak seusianya di sekolah.
Selama ini, Wida menyembunyikan Tegar dari dunia luar karena kondisinya. Setelah kakeknya meninggal, Tegar sering ditinggal ibunya bekerja, dan suatu hari pengasuhnya juga pulang kampung, membuatnya tinggal sendiri di rumahnya. Di sinilah Tegar menjadi mandiri untuk melihat dunia luar, dan memulai perjalanannya mengejar mimpi untuk bersekolah hingga memiliki teman.
"Saya orang film, saya sangat tahu film seperti 'Tegar' ini sudah jarang, semoga film ini bisa menginspirasi Anda sekalian sekaligus bisa membuka ruang bagi mereka anak-anak disabilitas untuk menunjukkan kemampuan mereka," ujar Deddy Mizwar, dikutip dari Antara Jatim.
Selain itu, sutradara "Tegar" Anggi Frisca ingin menjadikan film ini sebagai laboratorium mimpi bersama bagi berbagai pihak yang ingin mewujudkan masyarakat inklusif di Indonesia, dan dunia. Demi mewujudkannya, 10 persen dari kru yang bertugas dari produksi juga kawan difabel.
Beberapa di antaranya adalah aktor pendukung Anton J.C., Dzoel sebagai kru still-photography, Wawa Gunawan kru artistik, Ibe Ibrahim sebagai kru BTS (behind the scene), dan Yuktiasih Proborini sebagai konsultan untuk pengembangan naskah.
"Film ini berangkat dari pemikiran tentang apa yang kita lakukan di kondisi terisolasi dan cara kita menegarkan diri dalam keterbatasan," terang Anggi, dikutip dari Tribun Jabar. Melalui rilis pers, Anggi mengatakan, keterlibatan banyak pihak adalah hal yang penting karena ideologi yang diusung dari film ini bertajuk "leave no one behind".
Naskahnya pun memberikan kesempatan untuk kesetaraan, berekspresi, mengesampingkan perbedaan, dan berfokus pada pertumbuhan yang dapat dilakukan. Ideologi ini merupakan tema kampanye dari Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) yang diharapkan bertransformasi di tahun 2030.
Baca Juga: Wisata Taman Nasional Harusnya Fokus pada Konservasi dan Inklusif
Baca Juga: Namor, 'Villain' Film Black Panther 2 Diambil dari Mitologi Aztec