Nationalgeographic.co.id—Indonesia memiliki 54 Taman Nasional. Beberapa yang tertua, ditetapkan oleh ordonasi Hindia Belanda sebagai konservasi, agar terhindar dari eksploitasi alam Nusantara yang berlebihan. Sementara setelah kemerdekaan, sebagian Taman Nasional ditunjuk awalnya adalah hutan atau lahan masyarakat yang kemudian dilindungi pemerintah.
Taman Nasional sempat eksklusif seperti Cagar Alam—melarang siapa pun untuk masuk tanpa izin dan tidak diperbolehkan untuk dimanfaatkan. Namun, sejak 1970-an, pemanfaatannya diperbolehkan dengan membagi menjadi zona inti, zona rimba, dan zona pemanfaatan, setelah ditetapkan IUCN (Uni Internasional untuk Konservasi Alam).
Karena Taman Nasional di Indonesia memiliki keunikan, baik oleh bentang alam dan spesies langka di dalamnya, kebanyakan pemanfaatannya untuk pariwisata. Akan tetapi, pemanfaatan seperti ini sering kali keluar dari fokus konservasi, dan cenderung tidak inklusif terhadap masyarakat asli sekitar.
"Pembangunan tanpa konservasi adalah kelalaian," kata praktisi konservasi dan mantan kepala di beberapa Taman Nasional, Wawan Ridwan. "Menurut saya, zonasi Taman Nasional itu harus dibentuk dengan kesesuaian konservasi."
Wawan pernah menjabat sebagai Kepala Taman Nasional Kerinci Seblat. Taman Nasional itu berada di tiga provinsi Sumatra Barat, Jambi, dan Bengkulu, dan tepat di sekitar Bukit Barisan. Taman Nasional ini, walau bisa dimanfaatkan, harus tetap terjaga karena menjadi hulu bagi sungai-sungai besar di Sumatra.
"Fase saya [saat menjabat] adalah fase pembatasan untuk menentukan batas. Artinya, saat itu jadi sekretaris dari antarpemerintah provinsi. Kalau sampai Kerinci-Seblat terganggu maka akan ada bencana kekeringan air bersih," tuturnya dalam "BW in Training: Lika-liku Menjadi Kepala Taman Nasional" oleh Yayasan KEHATI, Jumat 11 November 2022.
Pemanfaatan di Taman Nasional, sebenarnya, memiliki tujuan yang positif untuk memberdayakan perekonomian dan kebudayaan masyarakat. Akan tetapi, sering kali masyarakat di sekitar belum memiliki pemahaman akan peluang tersebut.
Wawan melihat fenomena yang sangat signifikan ketika di menjadi Kepala Taman Nasional Komodo. Sebelumnya, Labuan Bajo, kawasan yang dekat dengan Taman Nasional Komodo masih sepi dari pariwisata pada 1970-1980-an.
Ketika geliat pariwisata mulai meningkat, masyarakat setempat justru menjual tanah mereka dengan perusahaan-perusahaan besar dari Jakarta, dan bahkan dari luar negeri. Pengelolaan pemanfaatan pariwisata, membuat masyarakat Labuan Bajo, bahkan kekurangan air karena digunakan oleh hotel.
"Menjual tanah itu memang hak pribadi. Padahal saya selalu berpesan jangan menjual tanah ke orang luar," kata Wawan. "[Harusnya] Tanah itu investasi masa depan. Saya meminta ke Pak Bupati Manggarai [saat itu] agar tolong ini [penjualan tanah masyarakat] dikontrol."
Ketika pariwisata Labuan Bajo terkenal, masyarakat yang pada awalnya menjadi tuan tanah, harus bekerja di tanah yang bukan lagi milik mereka. Mereka bekerja untuk membesarkan bisnis yang bukan berasal dari masyarakat setempat, melainkan dari Jakarta atau asing. "Seperti jadi tamu di negeri sendiri," kata Wawan.
Lebih parah lagi, Wawan pernah menemukan komersialisasi yang mengganggu konservasi. Dia mendapati sanggarloka swasta yang sangat eksklusif di kawasan konservasi di Taman Nasional Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Sanggarloka itu sangat mahal dan tidak melibatkan masyarakat sekitar, ujarnya. Bahkan, untuk bahan baku makanannya dikirimkan dari Bali, bukan dari pasar sekitar.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR