Indonesia, Brasil, dan Kongo Sepakati Kerja Sama Hentikan Deforestasi

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Jumat, 18 November 2022 | 12:00 WIB
Hutan hujan di Papua, salah satu tempat dengan keanekaragaman hayati paling tinggi di dunia, terancam oleh deforestasi. (Mighty Earth)

Nationalgeographic.co.id - Ada tiga besar yang memiliki hutan hujan tropis di planet ini yakni, Indonesia, Brasil, dan Republik Demokratik Kongo. Sebagai penyangga paru-paru dunia, ketiga negara itu kini mengumumkan kerja sama untuk menyelamatkan hutam tropis mereka dari penebangan dan pertanian.

"Perwakilan dari Indonesia, Brasil, dan RDK [...] mengumumkan kerja sama hutan tropis dan aksi iklim dalam side event COP27 (KTT iklim) Mesir pada 7 November, dan sepakat untuk menandatangani Pernyataan Bersama hari ini," terang Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi Indonesia Luhut Binsar Pandjaitan, dalam sebuah pernyataan.

Tahun 2021, lewat COP 26, Indonesia berkomitmen untuk menghentikan deforestasi. Presiden Joko Widodo dalam forum di Glasgow, Skotlandia, itu menjelaskan bahwa Indonesia memulai rehabilitasi hutan bakau sekitar 600 ribu hektar sampai 2024 mendatang.

Akan tetapi, mencegah deforestasi yang sedang diusahakan masih belum cukup. Bahkan, dalam laporan sebelumnya, hutan ternyata bisa menghasilkan karbon lebih banyak daripada yang diserap.

Kini, melalui KTT G20, Indonesia juga sedang berusaha untuk transisi energi. Selama ini bahan bakar minyak telah menghasilkan polusi. Hal ini juga sedang dilakukan oleh negara berhutan tropis lainnya seperti Republik Demokratik Kongo dan Brasil.

"Kami memang membutuhkan kerja sama dengan pihak lain untuk mencapai tujuan bersama. Kami sendiri hanya dapat melakukan sedikit, bersama-sama kita dapat melakukan banyak hal," lanjut menjelang KTT G20 Bali, 14 November 2022.

Ketiga negara dengan perjanjian kerja sama ini menyerukan untuk diberi kompensasi oleh komunitas internasional untuk mengurangi deforestasi. Mereka meminta agar organisasi internasional dapat berfokus pada masalah bersama, seperti akses ke pendanaan iklim, dan harga satu ton karbon di pasar kredit karbon.

  

Baca Juga: Sukses Kurangi Emisi dari Degradasi Lahan, Kaltim Raup Rp328 Miliar

Baca Juga: Memalukan, Jumlah Sampah Plastik dari Sungai-Sungai Jakarta Terungkap

   

Melansir AFP, pihak Indonesia mengatakan negara-negara tersebut "memiliki kepentingan bersama dalam berkolaborasi untuk meningkatkan nilai hutan tropis mereka, dan untuk memastikan bahwa hutan tropis ini terus memberi manfaat bagi iklim dan manusia."

Sementara di Brasil, lewat pernyataan presiden terpilih Luiz Inacio Lula da Silva, diperkirakan akan menjanjikan mengembalikan kebijakan lingkungan terdahulu untuk melindungi hutan hujan Amazon. Kebijakan itu dahulu dibuat oleh mantan presiden Jair Bolsonaro.

"Mari kita berjuang untuk nol deforestasi," ujarnya dalam pidato kemenangannya 31 Oktober 2022, dikutip dari Washington Post.

Mengutip data dari Statista, Brasil mengalami kenaikan deforestasi sejak 2012. Deforestasi terbesar sebelumnya ada pada tahun 2004 sebesar 27.000 kilometer persegi, dan perlahan menurun. Kenaikan kembali terjadi di tahun 2013, dan memuncak di tahun 2021 sebesar 13.000 kilometer persegi.

  

Baca Juga: Mantan Kepala Taman Nasional: Konservasi Harus Masuk Kurikulum Sekolah

Baca Juga: 58,2% Penggundulan Hutan Tropis oleh Pertambangan Terjadi di Indonesia

Baca Juga: Benarkah Menghentikan Deforestasi Berdampak Pada Emisi Masa Depan?

   

Republik Demokratik Kongo saat ini tengah menghadapi kritik karena meluncurkan lelang untuk blok minyak dan gas, dan beberapa di antaranya berada di daerah sensitif pada bulan Juli. Padahal, negara di tengah benua Afrika itu merupakan rumah bagi 60 persen hutan hujan Basin Kongo yang luas.

Masalahnya, negara itu sedang mengembangkan sumber daya fosilnya demi kebutuhan ekonominya. Hanya 3,7 persen rakyat Republik Demokratik Kongo yang memiliki akses ke bahan bakar bersih dan teknologi untuk memasak pada tahun 2020, menurut laporan Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB (OCHA).

Melansir AFP, Menteri Kehutanan Republik Demokratik Kongo Eve Bazaiba Masudi mengatakan lewat perjanjian ini, ketiga negara dapat menawarkan solusi perubahan iklim bersama. "Dunia saat ini semakin hangat, sehingga umat manusia membutuhkan hutan hujan untuk mengikat CO2," terangnya.

Kini Republik Demokratik Kongo sedang berusaha untuk peralihan energi dengan pendekatan yang didukung proyek Integrated REDD+. Program ini dilaksanakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Pembangunan Berkelanjutan negara itu, dengan dukungan dari Bank Dunia dan pendanaan dari Central African Forest Initiative (CAFI) dan Global Environment Facility (GEF).