Tugas Berat Wanita-wanita Menyiapkan Amunisi untuk Perang Dunia I

By Galih Pranata, Minggu, 20 November 2022 | 12:00 WIB
Dua pekerja amunisi wanita berdiri di samping selongsong yang diproduksi di National Shell Filling Factory №6, Chillwell, Nottinghamshire selama Perang Dunia Pertama. (Imperial War Museum)

Nationalgeographic.co.id—Pecahnya Perang Dunia I, sebagian besar pria di Inggris Raya dikirim dan dipersiapkan ke medan perang. Mereka harus meninggalkan kehidupan mereka dengan tanpa jaminan bisa kembali lagi.

Mereka tidak hanya meninggalkan jabatan mereka di pabrik-pabrik yang menjadi sandaran ekonomi bagi keluarganya dan Kerajaan Inggris, tetapi juga meninggalkan istri dan anak-anak mereka tanpa makanan.

"Perang ini tidak terduga," tulis Andrei Tapalaga kepada History of Yesterday dalam artikel berjudul "The Strong Canary Girls Who Worked to Death During WW1: The lifeline of the British Army" yang terbit pada 17 November 2022.

Kondisi itu menciptakan permintaan besar akan senjata dan amunisi. Setelah perang berlangsung selama sekitar satu tahun dan tentara Sekutu memahami dimensi aslinya, permintaan tugas berat yang sebenarnya datang.

Sebagian besar pabrik otomatis di Inggris diubah menjadi pabrik perang (pabrik yang digunakan untuk memproduksi perlengkapan perang seperti senjata, amunisi , seragam, dan lain-lain).

Dengan hampir 10 juta pria di atas usia 18 tahun telah dikirim ke medan perang, hanya ada satu sumber daya manusia yang tersisa untuk dikerahkan, menggunakan jasa mereka untuk memasok perang ini.

"Wanita pada saat itu tidak terlalu dipekerjakan dalam industri dengan tugas berat, karena kesetaraan gender masih menjadi topik yang tabu saat itu," imbuhnya. Banyak sejarawan berpendapat bahwa kebutuhan mendesak perempuan untuk bekerja di pabrik perang, mendorong gerakan persamaan hak perempuan pada tahun 1928.

Dengan tidak adanya pilihan lain, para wanita harus bekerja keras karena itulah satu-satunya cara mereka dapat mendukung pria mereka di garis depan, serta memberi makan anak-anak mereka.

Namun, dalam keseluruhan cerita ini, ada pekerjaan wanita yang cukup spesifik yang selain bekerja untuk keluarganya, mereka juga memikul tugas berat. Wanita-wanita ini mempertaruhkan nyawa mereka dengan memproduksi amunisi untuk perang, yang dikenal sebagai peluru howitzer.

Amunisi ini diciptakan dalam berbagai ukuran tergantung pada kaliber yang dibutuhkan, tetapi semuanya diisi dengan bahan peledak yang sama, Trinitrotoluena (umumnya dikenal sebagai TNT).

Paparan radiasi terus-menerus dari bahan peledak beracun ini mengubah kulit para pekerja menjadi warna oranye terang, inilah mengapa para wanita itu dijuluki dengan sebutan "Canary Girls".

 Baca Juga: Kisah Pilu Para Gadis Korek Api yang Rahangnya Busuk karena Uap Fosfor

 Baca Juga: Virginia Hall, Mata-mata Perempuan Paling Berbahaya di Perang Dunia II

 Baca Juga: Para Mata-Mata yang Membocorkan Rahasia Bom Atom Ke Uni Soviet 

Para wanita yang bekerja di pabrik-pabrik perang ini dibujuk untuk tetap bekerja dengan gaji yang tinggi, dua kali lipat dari apa yang diterima pria biasa dengan pekerjaan yang sama-sama mematikannya.

Saat perang berkembang, permintaan menjadi semakin tinggi dengan artileri menjadi salah satu senjata utama yang digunakan dalam perang parit. Gadis-gadis ini akhirnya bekerja lebih dari 14 jam sehari.

"Hingga pada tahun 1917, permintaan begitu tinggi sehingga pabrik-pabrik perang bahkan mempekerjakan gadis berusia 14 tahun untuk memproduksi amunisi," terusnya.

Semua ini berarti lebih banyak paparan terhadap TNT. Setelah perang, banyak bayi yang baru lahir dilaporkan lahir dengan pigmen kulit oranye, menunjukkan betapa beracunnya zat tersebut.

Pada usia senjanya, Canary Girl mengeluhkan masalah kesehatan yang telah didiagnosis berasal dari zat beracun yang telah mereka gunakan selama empat tahun. Namun, ada masalah yang lebih besar.

Poster iklan rekrutmen untuk bekerja di pabrik amunisi selama Perang Dunia I sejak 1917. (Imperial War Museum)

Terjadi insiden besar di Pabrik Pengisian amunisi Nasional №6, dekat Chilwell, beberapa bahan peledak meledak, menyebabkan kematian 130 wanita. Dikatakan bahwa selama Perang Dunia I, dua wanita meninggal setiap minggu di pabrik perang karena kecelakaan kerja atau keracunan bahan kimia. 

Para wanita ini terbelenggu oleh pemikiran suami mereka yang mengandalkan amunisi dan senjata yang mereka hasilkan. Terlepas dari kondisi kerja yang memprihatinkan, mereka harus tetap bekerja jika ingin suami dan anak laki-laki mereka pulang secepat mungkin.