Cerita Jelang Masuknya Film ke Hindia Belanda pada Awal Abad ke-20

By Galih Pranata, Selasa, 22 November 2022 | 13:00 WIB
Film Darah dan Doa karya Usmar ISmail pada 1950. Film ini berkisah tentang situasi hijrahnya Tentara Nasional Indonesia dari Yogyakarta ke Jawa Barat pada awal 1949 setelah rentetan penyerangan Belanda dalam Aksi Polisional. (Darah dan Doa/Pusat Film Negara)

Nationalgeographic.co.id—Belum pernah rakyat pribumi di Hindia Belanda menyaksikan film atau sinema. Sebuah grafis bergerak yang menggambarkan suatu adegan dan lanskap. Mereka menunggu-nunggu dibuatnya.

Film pertama di dunia pertama kali diluncurkan di Prancis pada tahun 1895 berjudul Lumière Cinematograph. Setelah sukses diputar di Grande Café Boulevard des Capucines, film perdana ini mulai tersebar ke seluruh dunia.

Memasuki awal abad ke-20, agaknya terjadi hal-hal yang ajaib dan menakjubkan. Rakyat pribumi di Hindia Belanda sedang menunggu desas-desus yang menggelinding deras tentang akan adanya pendirian bioskop. Hal ini dimulai setelah surat kabar Bintang Betawi merilis sebuah berita:

"De Nederlandsche-Indië Bioscope Maatschappij (Maatschappij Gambar Idoep), memberi tahoe bahoewa sedikit lagi hari ija nanti kasi lihat tontonan amat bagoes jaitoe gambar-gambar idoep dari banjak hal jang beloem lama telah kedjadian di Europa dan Afrika Selatan."

Heru Herwantoro menulis dalam jurnal Patanjala berjudul Bioskop Keliling Peranannya dalam Memasyarakatkan Film Nasional dari Masa ke Masa yang terbit pada tahun 2014. Dalam jurnalnya, Heru melansirkan dari Bintang Betawi tentang menakjubkannya pertunjukan film bioskop.

"Ini tontonan nanti dikasi lihat di dalam roemah disebelahnja Fabriek Kereta dari Maatschappij Fuchs di Tanah Abang. Hari moelainja tontonan ini, nanti dikasi taoe dilaen tempo," terusan berita dalam surat kabar Bintang Betawi terbitan 30 November 1900.

Rejoggrup Loetoeng Kasarung dalam proses syuting di Menes, sebelah barat Kota Pandeglang. (KITLV)

Desas-desus semakin kencang melihat adanya pemberitaan masuknya film pertama ke Hindia Belanda. Betapapun rakyat pribumi masih bertanya-tanya tentang seperti apa film yang nantinya akan ditayangkan. Sebuah pengalaman yang dinanti-nanti sejak lama.

Mulai dari "warung-warung kopi, pasar dan tempat berkumpulnya khalayak ramai, banyak yang membicarakan tentang keajaiban ini—disebut keajaiban karena belum pernah terjadi sebelumnya," imbuh Heru.

Mereka hanya bisa membayangkan betapa hebatnya sebuah alat yang mampu menangkap dan memunculkan kembali gambar bergerak yang bersuara. Benda-benda ajaib inilah yang mendorong rasa penasaran masyarakat dan membuat mereka tidak sabar menunggu.

Akhirnya, setelah lama menunggu desas-desus akan adanya penayangan film perdana, kini Bintang Betawi kembali melengkapi beritanya. Dalam surat kabar tertanggal 4 Desember 1900, Bintang Betawi memberitakan:

"Besok hari Rebo, 5 Desember 1900 PERTOENDJOKAN JANG BESAR PERTAMA didalem satoe roemah di Tanah Abang. Kebondjae (manage) moelai poekoel toejoe malem. Harga tempat klas satoe f2, harga tempat klas doewa f1 dan harga tempat klas tiga f0,5."