Alasan Mengapa Prostitusi Jadi Hal Lumrah di Abad Pertengahan

By Galih Pranata, Kamis, 24 November 2022 | 10:00 WIB
Prostitusi di era Victoria adalah hal yang umum. Para wanita lebih memilih untuk menjadi pelacur dibanding pekerja industri. (Wikimedia Commons)

Nationalgeographic.co.id—Sebuah fakta, pada akhir Abad Pertengahan, jumlah rumah pelacuran mencapai puncak tertinggi sepanjang masa yang membantu menumbuhkan ekonomi di seluruh dunia.

Mengapa demikian? Karena prostitusi mempertahankan aktivitas yang menghasilkan secara ekonomi dan "tidak dapat ditinggalkan laki-laki," tulis Andrei Tapalaga kepada History of Yesterday.

Ia menulisnya dalam sebuah artikel berjudul Why Was Prostitution Tolerated in Medieval Times? yang diterbitkan pada 22 November 2022.

Seks dengan pelacuran sama sekali bukan topik yang mudah dibicarakan. Hal ini cukup terkenal, bahkan hari ini, tidak ada diskusi tentang hal tabu itu. Prostitusi merupakan topik yang sangat disadari, tetapi orang memilih untuk tidak membicarakannya.

Seorang ahli abad pertengahan, Herm von Seggern dari Universitas Cologne, yang dalam hal ini meneliti sejarah seksualitas dari akhir Abad Pertengahan hingga abad ke-16, memunculkan kembali pembahasan ini.

"Dia menarik perhatian kita pada fakta bahwa kita berurusan dengan banyak kesamaan dengan saat ini. Prostitusi masih tabu dan, di banyak bagian dunia, masih ditoleransi," imbuhnya.

Masalah yang dihadapi dapat dilihat dari sudut pandang historis. Masalahnya, bahwa wanita membiarkan bisnis semacam itu terus berjalan karena mereka mentolerir cara pria memperlakukan mereka sebagai pelacur.

Di akhir Abad Pertengahan, sekira abad ke-14 hingga ke-15, rumah bordil sedang naik daun. Rumah prostitusi kota dapat ditemukan di hampir semua lingkungan. Mereka secara resmi membuka pemukiman. Biasanya, bisnis ini dijalankan oleh laki-laki, lebih jarang oleh perempuan.

"Sistem sewa serta pajak akan masuk ke kas kota. Itu sebabnya pelacur juga muncul di daftar pajak kota, seperti anggota Hansa yang terkenal, Lübeck," lanjutnya. Seks menjadi jasa yang dijual, sedikit banyak mendominasi aktivitas sosial dan ekonomi di zamannya.

Selain pelacur yang berada di rumah bordil, bangsa Yunani kuno memiliki pelacur wanita berpendidikan. Mereka adalah hetaira, pelacur kelas atas di zaman Yunani kuno. (Michel Corneille the Younger)

Secara umum, seksualitas yang tidak dapat diekspresikan dan dialami secara terbuka, dianggap sebagai bahaya bagi masyarakat. Oleh karena itu, sejak masa ajaran Beato Agustinus (354–430), prostitusi dianggap sebagai pelayanan jasa yang diperlukan.

"Von Seggern menarik perhatian pada sebuah fakta bahwa motivasi dan perilaku pria di abad pertengahan masih sedikit mendapat perhatian atau kurang banyak diteliti," tambahnya lagi.