Menelisik Jejak Eduard Douwes Dekker di Museum Multatuli Rangkasbitung

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Jumat, 2 Desember 2022 | 18:42 WIB
Patung Eduard Douwes Dekker sedang membaca di Museum Multatuli. Dia menulis buku berjudul 'Max Havelaar' yang isinya merupakan kritik keras atas sistem kolonialisme yang memeras rakyat Hindia Belanda. (Afkar Aristoteles Mukhaer/National Geographic Indonesia)

Nationalgeographic.co.id - "Multatuli atau Eduard Douwes Dekker ini, dia adalah pembawa api," kata Ubaidillah Muchtar, Kepala Museum Multatuli di Rangkasbitung, Banten. "Membawa semangat antikolonialisme, dan kesetaraan."

Sudah sejak lama bagi Ubai untuk menelisik tentang Eduard Douwes Dekker. Sosok ini menginspirasi banyak tokoh pergerakan nasional di Hindia Belanda untuk memperjuangkan kemerdekaan dari jeratan kolonialisme Belanda. Jejaknya pun sangat terasa di Kabupaten Lebak, terutama di Rangkasbitung.

Kota ini menjadi tempat Douwes Dekker menyalurkan pemahamannya dalam buku Max Havelaar. Buku ini sebenarnya adalah pengalamannya yang melihat adanya ketidakadilan dan pemerasan yang berlebihan kepada masyarakat bumiputra oleh sistem kolonialisme. Ia menulis buku itu dengan nama pena Multatuli, yang berasal dari bahasa Latin "sudah banyak yang aku derita".

"Kepada Anda saya bertanya dengan penuh keyakinan: Apakah Kerajaan Anda ingin membuat lebih dari tiga puluh juta rakyat di Hindia Timur ditindas dan dihisap atas nama Anda?" tulis Multatuli ketika menyampaikan kritiknya kepada pejabat kolonial.

Tulisan itu dikutip pula oleh Ubai di dinding bagian pameran koleksi Museum Multatuli. Museum ini menampilkan beberapa kutipan penting yang bisa dipelajari dari sosok ini.

Tidak hanya itu, museum ini juga menampilkan koleksi buku-buku karya Multatuli, mulai dari karya-karya lainnya seperti sastra hingga surat-surat cintanya dan untuk sahabat. Buku Max Havelaar yang fenomenal itu juga dikoleksi di sini dari berbagai bahasa.

"Sebenarnya, keinginan untuk mendirikan [Museum Multatuli] itu sudah lama," kata Ubai. Museum ini baru diresmikan 11 Februari 2018. Sosok ini sangat melekat dengan masyarakat Lebak, dan sudah banyak cara untuk mengenangnya. "Dari tahun 1970-an, di sini sudah ada Jalan Multatuli, ada SD Multatuli, ada Radio Multatuli FM, dan sekarang Museum Multatuli."

Di dunia ini, ada dua museum Multatuli. Selain di Rangkasbitung, museum yang mengenangnya ada di Amsterdam, Belanda, dengan nama Museum Multatuli atau Multatuli Huis. Meskipun keduanya tidak terafiliasi, ada beberapa barang koleksi yang dikirim dari sana ke museum di Rangkasbitung.

Museum Multatuli adalah satu-satunya museum di Kabupaten Lebak. Ubai menjelaskan, museum ini mengenalkan pula sejarah Kabupaten Lebak secara keseluruhan. Di salah satu ruang pameran museum, dipamerkan pula salinan surat pembentukan tiga kabupaten awal di Banten, yakni Serang, Caringin, dan Lebak. Pembentukannya itu berdasarkan Staatsblad nomor 81 tahun 1828.

Eduard Douwes Dekker datang ke Hindia Belanda pertama kali pada 1839, dan tiba setahun setelahnya di Batavia. Dia berasal dari kalangan keluarga yang cukup mampu, karena ayahnya adalah kapten kapal yang berpenghasilan cukup untuk membiayaimya sekolah.

Eduard Douwes Dekker, menerbitkan novel dengan nama pena Multatuli bertajuk 'Max Havelaar, of de koffie-veilingen der Nederlandse Handel-Maatschappij' terbit pada 1860 di Belanda. (Wikimedia Commons)

Semasa mudanya ia bersekolah di sekolah Latin. Ubai menerangkan, pada awalnya Eduard Douwes Dekker hendak dimasukkan ke sekolah agama oleh orang tuanya, tetapi menolak. Dari sekolah latin inilah ia memahami multa tuli sebagai nama penanya.