Menelisik Jejak Eduard Douwes Dekker di Museum Multatuli Rangkasbitung

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Jumat, 2 Desember 2022 | 18:42 WIB
Patung Eduard Douwes Dekker sedang membaca di Museum Multatuli. Dia menulis buku berjudul 'Max Havelaar' yang isinya merupakan kritik keras atas sistem kolonialisme yang memeras rakyat Hindia Belanda. (Afkar Aristoteles Mukhaer/National Geographic Indonesia)

Lalu, saat di Hindia Belanda, dia bekerja sebagai ambtenaar (PNS) di kantor Pengawasan Keuangan Batavia, berkat bantuan dari kenalan ayahnya. Setelah dari Batavia, ia berpindah tempat tugas secara berturut-turut di Sumatra Barat, dan Natal, Sumatra Utara.

Suasana ruangan koleksi sejarah Kabupaten Lebak. Museum Multatuli adalah satu-satunya museum di Kabupaten Lebak, sehingga topik yang diangkat tidak hanya terkait Multatuli, tetapi sejarahnya pula. (Afkar Aristoteles Mukhaer/National Geographic Indonesia)

"Dia melihat kesewenang-wenangan itu sejak di Natal," kata Ubai. Tidak berlangsung lama Eduard Douwes Dekker bekerja di Natal. Dia sering mendapatkan peringatan dari atasannya, bahkan mengabaikannya. Dia pun diberhentikan jabatannya dan harus luntang-lantung tanpa penghasilan apa-apa di Padang, dan kemudian kembali ke Batavia atas restu pemerintah.

Setelah itu ia kembali bekerja pada 1846 sebagai komisiaris di kantor residen Purworejo. Hasil kerjanya membaik, sehingga diangkat menjadi sekretaris residen. Setelah dari sana, ia pun menjadi sekretaris residen di Manado pada 1849, lalu ditugaskan di Ambon tahun 1851.

Dia baru bertugas di Lebak pada 10 September 1855 setelah cuti pulang kampung ke Belanda. Dia bersama istrinya, Everdine van Wijnbergen (menikah 1846) tinggal di Rangkasbitung. Di Lebak inilah, Eduard Douwes Dekker mendapati situasi masyarakat setempat lebih menderita dari berita-berita yang didapatinya. Hal ini yang menjadi inspirasinya menulis Max Havelaar untuk mengkritik pejabat kolonialisme Hindia Belanda, dan bahkan membuat geger Kerajaan.

Baca Juga: Lokananta dan Upaya Soekarno Membangun Ketahanan Budaya Bangsa

Baca Juga: Ernest Douwes Dekker, Belanda-Jawa yang Meresahkan Hindia Belanda

Baca Juga: Hotel des Indes: Dari Multatuli, Wallace, Sampai Tempat Bunuh Diri

Baca Juga: Apakah Kisah Max Havelaar Nyata? Mari Mencari Jejaknya di Lebak

"Belanda itu kan negara kecil yang diremehkan di Eropa," terang Ubai. "VOC ada, membawa kelimpahan kekayaan di Belanda. Tapi, [pada masa-masa selanjutnya] orang-orang di Belanda itu penasaran bagaimana bisa [Kerajaan ini] bisa makmur? Jadi mulailah rasa-rasa penasaran, rasa curiga, ingin tahu sumber yang didapatinya."

Setelah VOC tumbang, Hindia Belanda dipegang oleh pemerintah koloni, bukan lagi perusahaan. Untuk mendapatkan sumber yang melimpah di pasar Eropa, kebijakan tanam paksa. Kebijakan ini memberi untung pejabat kolonial, sedangkan rakyat menderita karena tidak mendapatkan hasil apa-apa dari apa yang ditanam.

Liberalisasi kemudian muncul dengan seiringnya berkembang rasa penasaran masyarakat Belanda akan apa yang terjadi di Hindia. Eduard Douwes Dekker sendiri, merasa kecewa dengan kondisi Hindia Belanda yang dikira akan sangat kaya untuk memakmurkan Belanda. Kondisinya justru menderita.