"Di New Orleans, ada kemiskinan yang jauh lebih tinggi di antara populasi Amerika-Afrika sebelum badai Katrina," kata Jacquelyn Litt, profesor kajian perempuan dan gender di Rutgers University, AS.
"Lebih dari separuh keluarga miskin di kota tersebut dikepalai oleh ibu tunggal," imbuhnya. Litt menambahkan, para perempuan tersebut umumnya bergantung pada jaringan masyarakat untuk bertahan hidup. Saat badai datang, kerusakan mengikis jaringan tersebut.
"Ini menempatkan perempuan dan anak-anak mereka pada risiko yang jauh lebih besar," kata Litt. Selain itu, saat terjadi bencana, biasanya tempat penampungan darurat tidak cukup dilengkapi fasilitas pendukung untuk perempuan. Contohnya fasilitas sanitasi.
Ditambah lagi, tempat penampungan yang biasanya tidak terpisah antara laki-laki dan perempuan juga meningkatkan insiden kekerasan terhadap perempuan. Di antaranya adalah kekerasan seksual hingga berebut untuk makanan.
Bencana Alam
Perubahan iklim juga kita ketahui sebagai salah satu pemicu banyaknya bencana alam yang terjadi. Tenyata, saat bencana alam pun, jumlah perempuan yang bertahan lebih sedikit dibanding laki-laki.
Menurut laporan Oxfam, saat terjadi tsunami pada 2004, jumlah laki-laki yang bertahan hidup 3 kali lebih banyak dibanding perempuan. Ini berlaku untuk negara yang terdampak, yaitu Srilangka, Indonesia, dan India. Meski belum diketahui penyebabnya dengan jelas, namun pola serupa ditemui di seluruh wilayah.
Para peneliti berpendapat hal ini mungkin dikarenakan pria cenderung bisa berenang. Selain itu, perempuan biasanya kehilangan waktu untuk menyelamatkan diri karena fokus untuk memastikan anak-anak dan anggota keluarganya selamat.
Sebuah penelitian yang dilakukan selama 20 tahun pun menunjukkan hasil yang sama. Bedanya, di negara yang wanitanya memiliki kekuatan sosial-ekonomi lebih tinggi, perbandingan tersebut berkurang.
Pengakuan terhadap perempuan
Menyadari hal ini, sekarang, pemerintah dan organisasi yang bekerja untuk perubahan iklim secara bertahap mulai memasukkan pendapat perempuan dalam kebijakan dan perencanaannya. Sayangnya, saat ini, keterwakilan perempuan di badan perunding iklim nasional dan global masih berada di bawah 30 persen.
"Wanita sering tidak terlibat dalam keputusan yang dibuat mengenai tanggapan terhadap perubahan ikim," kata Dian Liverman, ilmuwan lingkungan. Sebagai penulis untuk Panel Antarpemerintah tentang Perubahan iklim (IPCC), Liverman telah lama mengamati jumlah perempuan yang terlibat dalam bidang ini.
"IPCC telah sangat menderima hal ini (perubahan iklim berdampak pada perempuan) dan benar-benar berdiksusi tentang bagaimana mereka bisa mendukung perempuan dengan lebih baik," jelas Liverman. "Wanita separuh dunia Ini penting untuk berpartisipasi dalam semua keputusan besar," tambahnya.