Seberapa Besar Risiko Perempuan dalam Kecamuk Perubahan Iklim?

By National Geographic Indonesia, Kamis, 1 Desember 2022 | 14:00 WIB
Perempuan petani Desa Rantau Lurus memanen hasil kebun. Bagaimanakah dampak perubahan iklim terhadap meningkatnya risiko perempuan? (Program Desa Peduli Gambut)

Nationalgeographic.co.id—Perubahan iklim dan pemanasan global memberi dampak besar bagi kehidupan di bumi. Salah satunya pada kehidupan manusia. Namun, siapa sangka jika perubahan iklim memberi dampak lebih besar pada perempuan.

Hal ini ditunjukkan oleh sebuah hasil penelitian baru-baru ini. Dalam data PBB, orang yang mengungsi akibat perubahan iklim 80 persen adalah perempuan. Peran sebagai pengasuh utama dan penyedia makanan serta bahan bakar membuat perempuan lebih rentan saat terjadi banjir atau kekeringan.

Bukti paling nyata terlihat di Afrika bagian tengah, tepatnya di sekitar Danau Chad. Saat ini, 90 persen Danau tersebut telah menghilang. Hal itu tentu berdampak bagi penduduk asli nomaden. Karena garis danau yang surut, para perempuan asli sekitar harus berjalan lebih jauh untuk mendapatkan air.

"Di musim kemarau, para pria pergi ke kota, meninggalkan perempuan untuk menjaga masyarakat," ungkap Hindou Oumaru Ibrahim, koordinator asosiasi perempuan adat dan penduduk Chad (AFPAT) dikutip dari BBC.

Dengan musim kemarau yang lebih panjang seperti sekarang ini, perempuan bekerja lebih keras untuk memberi makan dan merawat keluarga mereka. "Mereka (perempuan) menjadi lebih rentan. Ini pekerjaan yang sangat sulit," sambung Ibrahim.

Pada 2021 Women Deliver Report melaporkan dampak perubahan iklim terhadap risiko perempuan dalam "The Link Between Climate Change and Sexual and Reproductive Health and Rights: An Evidence Review."

Menurut laporan itu perubahan iklim berdampak signifikan pada peningkatan kekerasan berbasis gender, termasuk kekerasan seksual. Begitu juga meningkatnya transaksi seksual, perdagangan seks, yang diderita oleh kaum perempuan.

Perubahan iklim bisa menyebabkan kelangkaan pada sumber daya, kebutuhan pokok misalnya. Di kawasan pedesaan, kaum perempuan acapkali menempuh perjalanan yang lebih jauh demi memperoleh kebutuhan itu. Peluang ini menyebabkan perempuan kian berisiko terpapar kekerasan seksual.

  

Tak Hanya Pedesaan

Jika Anda berpikir yang terkena dampak paling parah dari perubahan iklim, itu tak sepenuhnya benar. Secara global, perempuan cenderung mengalami kemiskinan dan lebih sedikit punya kekuatan sosial-ekonomi dibanding pria. Hal inilah yang membuat perempuan cenderung lebih sulit pulih dari bencana yang mempengaruhi insfrastuktur, lapangan kerja, dan perumahan.

Salah satu contohnya adalah badai Katarina di Amerika Serikat pada 2005. Pihak yang paling merasakan dampaknya adalah perempuan Amerika-Afrika saat terjadi banjir di Louisiana. Saat permukaan laut naik dan menyebabkan banjir, kota-kota dataran rendah seperti New Orleans semakin berisiko.

"Di New Orleans, ada kemiskinan yang jauh lebih tinggi di antara populasi Amerika-Afrika sebelum badai Katrina," kata Jacquelyn Litt, profesor kajian perempuan dan gender di Rutgers University, AS.

"Lebih dari separuh keluarga miskin di kota tersebut dikepalai oleh ibu tunggal," imbuhnya. Litt menambahkan, para perempuan tersebut umumnya bergantung pada jaringan masyarakat untuk bertahan hidup. Saat badai datang, kerusakan mengikis jaringan tersebut.

"Ini menempatkan perempuan dan anak-anak mereka pada risiko yang jauh lebih besar," kata Litt. Selain itu, saat terjadi bencana, biasanya tempat penampungan darurat tidak cukup dilengkapi fasilitas pendukung untuk perempuan. Contohnya fasilitas sanitasi.

Ditambah lagi, tempat penampungan yang biasanya tidak terpisah antara laki-laki dan perempuan juga meningkatkan insiden kekerasan terhadap perempuan. Di antaranya adalah kekerasan seksual hingga berebut untuk makanan.

Bencana Alam

Perubahan iklim juga kita ketahui sebagai salah satu pemicu banyaknya bencana alam yang terjadi. Tenyata, saat bencana alam pun, jumlah perempuan yang bertahan lebih sedikit dibanding laki-laki.

Menurut laporan Oxfam, saat terjadi tsunami pada 2004, jumlah laki-laki yang bertahan hidup 3 kali lebih banyak dibanding perempuan. Ini berlaku untuk negara yang terdampak, yaitu Srilangka, Indonesia, dan India. Meski belum diketahui penyebabnya dengan jelas, namun pola serupa ditemui di seluruh wilayah.

Para peneliti berpendapat hal ini mungkin dikarenakan pria cenderung bisa berenang. Selain itu, perempuan biasanya kehilangan waktu untuk menyelamatkan diri karena fokus untuk memastikan anak-anak dan anggota keluarganya selamat.

Sebuah penelitian yang dilakukan selama 20 tahun pun menunjukkan hasil yang sama. Bedanya, di negara yang wanitanya memiliki kekuatan sosial-ekonomi lebih tinggi, perbandingan tersebut berkurang.

Pengakuan terhadap perempuan

Menyadari hal ini, sekarang, pemerintah dan organisasi yang bekerja untuk perubahan iklim secara bertahap mulai memasukkan pendapat perempuan dalam kebijakan dan perencanaannya. Sayangnya, saat ini, keterwakilan perempuan di badan perunding iklim nasional dan global masih berada di bawah 30 persen.

"Wanita sering tidak terlibat dalam keputusan yang dibuat mengenai tanggapan terhadap perubahan ikim," kata Dian Liverman, ilmuwan lingkungan. Sebagai penulis untuk Panel Antarpemerintah tentang Perubahan iklim (IPCC), Liverman telah lama mengamati jumlah perempuan yang terlibat dalam bidang ini.

"IPCC telah sangat menderima hal ini (perubahan iklim berdampak pada perempuan) dan benar-benar berdiksusi tentang bagaimana mereka bisa mendukung perempuan dengan lebih baik," jelas Liverman. "Wanita separuh dunia Ini penting untuk berpartisipasi dalam semua keputusan besar," tambahnya.