Nationalgeographic.co.id—Banyak negara di dunia yang masih bergantung pada batu bara sebagai sumber energi dan pergerakan ekonomi mereka, salah satunya Indonesia. Hal ini menjadi tantangan dalam gerakan memperlambat laju perubahan iklim, mengingat bahan bakar fosil seperti batu bara merupakan salah satu penyumbang terbesar emisi global.
Untuk mengatasi hal ini, negara-negara kaya mulai melakukan patungan. Menurut pihak Gedung Putih, negara-negara kaya telah berjanji untuk mengumpulkan setidaknya 20 miliar dolar AS atau setara Rp 312 triliun untuk membantu menyapih Indonesia dari ketergantungan batu bara dan menjadi karbon netral pada tahun 2050, satu dekade lebih awal dari yang direncanakan.
Amerika Serikat, Jepang, Kanada, dan enam negara Eropa telah menandatangani perjanjian dengan Indonesia di sela-sela KTT G20 di Bali untuk memastikan "transisi sektor listrik yang adil" dari ekonomi Indonesia yang bergantung pada batu bara, kata mereka dalam sebuah pernyataan yang dirilis oleh Dewan Gedung Putih.
Berdasarkan kesepakatan tersebut, Indonesia, rumah bagi hutan hujan terbesar ketiga di dunia, berjanji untuk mencapai netralitas karbon pada tahun 2050, 10 tahun lebih awal dari rencana sebelumnya. Indonesia juga berjanji untuk menggandakan pembangkit energi terbarukan pada tahun 2030.
Presiden Indonesia Joko Widodo memuji kesepakatan tersebut, yang mengikuti kesepakatan serupa untuk Afrika Selatan tahun lalu. Kesepakatan dengan Afrika Selatan ini menjadi model yang dapat direplikasi di negara lain untuk memenuhi tujuan iklim dunia.
"Indonesia berkomitmen untuk menggunakan transisi energi kami untuk mencapai ekonomi hijau dan mendorong pembangunan berkelanjutan," ujar Joko widodo, seperti dikutip dari AFP, seraya berjanji kesepakatan itu akan membantu "mempercepat transisi ini."
Baca Juga: Mengejar Target Penggunaan Energi Terbarukan demi Karbon Netral
Baca Juga: Anak Muda Indonesia Punya Segudang Inovasi untuk Karbon Netral
Baca Juga: Negara-Negara G20 Masih Pakai Triliunan Dolar untuk Bahan Bakar Fosil
Para sponsor kesepakatan tersebut mengatakan Indonesia telah berkomitmen untuk perubahan ambisius untuk membersihkan energi dengan imbalan 10 miliar dolar AS dalam pembiayaan sektor publik dan 10 miliar dolar AS dalam pendanaan swasta selama tiga sampai lima tahun.
Pembiayaan tersebut termasuk "hibah, pinjaman lunak, pinjaman dengan suku bunga pasar, jaminan dan investasi swasta" untuk negara tersebut, yang memiliki salah satu cadangan batu bara terbesar di dunia.
Presiden AS Joe Biden mengatakan kesepakatan itu menunjukkan "negara-negara dapat secara dramatis mengurangi emisi dan meningkatkan energi terbarukan sambil... menciptakan lapangan kerja berkualitas dan melindungi mata pencaharian dan masyarakat."
Masalahnya, Indonesia terkadang mempertanyakan kesepakatan iklim, termasuk perjanjian tahun 2021 untuk mengakhiri deforestasi pada tahun 2030 yang telah ditandatangani. Pejabat pemerintah pernah mengatakan bahwa penghentian deforestasi dapat menghambat pembangunan ekonomi negara.
Namun terlepas dari insentif baru tersebut, para ahli memperingatkan bahwa masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan Indonesia untuk memenuhi tuntutan kemitraan tersebut.
“Ini sedang dalam proses. Tetapi Indonesia telah mencapai tingkat kenyamanan yang cukup dengan skala keuangan yang mereka inginkan untuk melanjutkannya. Akan ada banyak pekerjaan lanjutan,” kata Friederike Roder, direktur senior untuk Uni Eropa dan G20 di NGO Global Citizen.
Namun dia memperingatkan: "Ada kekhawatiran bahwa keuangan tidak cukup untuk transformasi total yang dibutuhkan".