Apakah Benar Menyantap Daging Sapi Mempercepat Perubahan Iklim?

By National Geographic Indonesia, Senin, 5 Desember 2022 | 07:00 WIB
Petang hari ratusan sapi milik warga di Labuan Merak kembali ke kandang setelah digembalakan di sabana, pesisir Taman Nasional Baluran. (Yunaidi/National Geographic Indonesia)

Nationalgeographic.co.id—Ada beberapa fakta menarik di balik nikmatnya mengonsumsi panganan daging sapi yang kita gemari.

Dimulai dari sejarah asalnya sapi. Nenek moyang sapi adalah auroch, binatang yang dikenal kuat, pintar, dan sangat gesit. Julius Caesar dalam karyanya pernah mengatakan ketakutannya bertemu dengan auroch di alam liar. Orang Romawi kuno kadang membawa auroch ke Colloseum untuk bertarung melawan gladiator.

Di satu sisi, orang-orang Romawi kuno mulai memerah dan mengonsumsi susu auroch. Lambat laun, auroch mulai dipelihara dan diternak hingga berkembang menjadi 800 keturunan berbeda. Kini , spesies asli auroch sudah punah, betina terakhirnya ditemukan mati 300 tahun lalu di Polandia.

Pada 1920, dua orang penjaga kebun binatang di Jerman mengembangbiakkan auroch dari sapi domestik yang merupakan keturunan asli dari auroch. Menurut mereka, suatu spesies tidak akan punah selama gennya masih tersedia. Buah pikiran mereka menghasilkan keturunan sapi Heck, sapi yang selama ini kita lihat dan konsumsi.

Konsumsi daging global telah meningkat secara signifikan dalam beberapa dekade terakhir, dengan konsumsi per kapita hampir dua kali lipat sejak awal 1960-an, demikian menurut Badan Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO).

Pada 1960-an setiap orang rata-rata mengonsumsi 23,1 kilogram daging setiap tahun. Namun, angka tersebut meningkat menjadi 43,2 kilogram pada tahun pada 2019. Studi menunjukkan bahwa negara yang lebih kaya cenderung mengonsumsi lebih banyak daging.

Proyeksi menunjukkan bahwa konsumsi daging per kapita di negara industri diproyeksikan naik menjadi 69,5 kilogram pada akhir tahun 2022—sementara angka yang diproyeksikan untuk negara berkembang hanya 27,6 kilogram.

Sebuah studi bertajuk "Global greenhouse gas emissions from animal-based foods are twice those of plant-based foods" terbit di Nature Food pada 2021.

Menurut penelitian ini makanan nabati menyumbang hanya 29 persen gas rumah kaca yang dipancarkan oleh industri makanan global. Sebaliknya, 57 persen emisi gas rumah kaca berasal dari industri terkait dengan pengembangbiakan dan pemeliharaan sapi, babi, dan hewan ternak lainnya, serta produksi pakan.

Seperempat dari emisi gas rumah kaca global dalam industri makanan dikatakan berasal dari produksi daging sapi saja. Bahkan, menurut penelitian ini penanaman padi yang menghasilkan lebih banyak gas rumah kaca daripada produksi daging babi, unggas, domba, kambing, dan susu. 

Mengonsumsi daging sapi berarti membantu mempercepat proses perubahan iklim daripada yang diakibatkan dari pembakaran bensin.

Peternakan berkontribusi terhadap pemanasan global. Menurut data FAO, 14,5 persen dari semua emisi gas rumah kaca yang disebabkan oleh manusia disebabkan oleh peternakan.