Apakah Benar Menyantap Daging Sapi Mempercepat Perubahan Iklim?

By National Geographic Indonesia, Senin, 5 Desember 2022 | 07:00 WIB
Petang hari ratusan sapi milik warga di Labuan Merak kembali ke kandang setelah digembalakan di sabana, pesisir Taman Nasional Baluran. (Yunaidi/National Geographic Indonesia)

Peternakan merupakan sebuah industri yang tidak hanya mengeluarkan karbon dioksida (CO2), tetapi juga metana (CH4) dan dinitrogen oksida (N2O)—dua gas yang dianggap memainkan peran yang mirip dengan CO2 dalam mendorong pemanasan global.

Meskipun metana dan dinitrogen oksida tidak bertahan lama di atmosfer dibandingkan CO2, keduanya memiliki potensi terhadap pemanasan iklim sekitar 25 kali dan 300 kali lebih tinggi daripada karbon dioksida. 

Pasangan aktivis lingkungan dan penulis buku CowedThe Hidden Impact of 93 Million Cows on America’s Health, Economy, Politics, Culture, and Environment, Denis Hayes dan Gail Boyer Hayes, mengatakan kepada National Geographic: “Jumlah karbon dioksida yang dihasilkan dari produksi daging sapi tiap ponnya (1 pon = 453gram), nyatanya, jauh lebih besar dari yang dihasilkan dari pembakaran bensin.”

Mengapa demikian?

Umumnya, daging sapi yang kita makan berasal dari hasil peternakan sapi besar di dunia Barat. “Jika anda merunut proses dan menghitung energi yang dibutuhkan sejak proses menernakkan sapi hingga menjadi hidangan di atas meja makan anda, maka benar, karbon dioksida yang dihasilkan lebih besar dari yang dilakukan pengendara mobil berbahan bakar bensin,” jelas Denis.

Jumlah energi tersebut sudah termasuk dari hasil proses pemupukan jagung yang menjadi makanan sapi ternak, energi dari hasil pembakaran bensin yang digunakan mesin traktor untuk membajak ladang, gas yang dipakai untuk memindahkan jagung hasil panen ke tempat peternakan sapi, energi yang dipakai untuk memotong dan mengawetkan daging sapi, mengirimnya ke pasar dan supermarket, gas yang terkandung dalam sunblock lotion yang dipakai konsumer sebelum pergi ke pasar demi daging sapi, dan yang terakhir gas yang digunakan konsumer  untuk mengolah daging sapi tersebut.

Ada aspek kehidupan lain yang menjadi pemasok sumber gas rumah kaca lebih besar. Sebagai contoh sektor transportasi dan penerbangan. Apabila kita mengemudi sejauh 10.000 kilometer setahun, artinya kita telah melepaskan lebih dari 2 ton CO2. Besaran itu setara penerbangan dari Asia ke Eropa.

“Jika anda sudah sampai poin terakhir dari proses panjang penyediaan stok daging sapi tersebut, maka gas karbon dioksida yang dihasilkan akan lebih besar dibanding yang dihasilkan dari proses pembakaran bensin,” tutup Denis, yang juga menggagas konsep “Hari Bumi” pada 1970.

Bagaimana kasus peternakan di Indonesia?

Pada 2019 sejumlah peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (kini Badan Riset dan Inovasi Nasional) menerbitkan buku bertajuk Emisi Gas Rumah Kaca dari Peternakan di Indonesia dengan TIER 2 IPCC. Buku ini berisi tentang proses dan hasil penghitungan emisi GRK dengan menggunakan metode yang lebih akurat, yaitu Tier 2, pada semua jenis ternak di Indonesia.

Buku ini menuturkan bahwa "subsektor peternakan merupakan salah satu kontributor gas rumah kaca (GRK) nasional. Kontribusi GRK dari subsektor ini masih di bawah 2 persen dari total emisi GRK secara nasional. Namun demikian, kontribusi ini diasumsikan akan terus meningkat sejalan dengan upaya penambahan populasi ternak sebagai efek dari diterapkannya salah satu program pemerintah untuk pemenuhan protein hewani asal ternak."