Menelisik Program Keluarga Harapan untuk Masyarakat Miskin Indonesia

By Utomo Priyambodo, Selasa, 6 Desember 2022 | 08:00 WIB
Tampak perbedaan permukaan laut dan daratan di pesisir Jakarta. Daerah di kawasan Penjaringan, Jakarta Utara, kerap dilanda banjir akibat pasang laut karena daratannya lebih rendah sekitar satu meter daripada muka laut. Perubahan iklim turut mempercepat naiknya muka laut. (Yunaidi/National Geographic Indonesia)

Nationalgeographic.co.id—Sebuah studi baru mengungkapkan bahwa program perlindungan sosial intervensional yang disebut Program Keluarga Harapan (PKH) menunjukkan hasil positif dalam membantu rumah tangga miskin. Program ini mengembangkan strategi penanggulangan yang proaktif sebelum dan selama bencana alam, yang mengarah pada ketahanan sosial dan ekonomi keluarga-keluarga miskin.

Para peneliti yang dipimpin oleh Profesor Mihoko Matsuyuki dan berbasis di Yokohama National University telah menerbitkan temuan mereka tentang kemanjuran PKH ini di International Journal of Disaster Risk Reduction pada Agustus 2022.

PKH dibentuk oleh pemerintah Indonesia sebagai program tunai bersyarat untuk mengurangi kemiskinan dan ketimpangan. Ini adalah salah satu program bantuan sosial terbesar di Indonesia, mencapai 681 juta dolar AS atau sekitar Rp10 triliun pada tahun 2016.

Dalam studi ini, Matsuyuki dan Irene Sondang Fitrinitia selaku penulis pertama dan koresponden studi, bertujuan untuk lebih memahami hubungan antara program tunai bersyarat untuk rumah tangga yang dianggap miskin menurut standar daerah dan kemampuan mereka untuk mengatasi dan menjaga kualitas hidup mereka setelah banjir dan bencana lainnya.

“Orang-orang miskin rentan terhadap bencana alam, dan meningkatkan kapasitas adaptasi mereka terhadap bencana alam merupakan tantangan besar di negara-negara berkembang,” ujar Fitrinitia, seperti dikutip dari keterangan tertulis Yokohama National University.

“Masalah kemiskinan dan dampak bencana saling terkait, sehingga langkah-langkah untuk membantu mereka juga harus saling terkait.”

Makalah studi tersebut mencatat bahwa setidaknya ada 325 juta orang miskin yang tinggal di 49 negara yang akan paling terpapar pada berbagai bencana alam dan iklim ekstrem. Mereka adalah orang-orang yang paling mungkin mengalami dampak buruk jangka panjang dari bencana-bencana tersebut sehingga membuat mereka kehilangan aset dan pendapatan dan bahkan berdampak pada standar hidup yang lebih rendah.

“Penanggulangan bencana tidak bisa diselesaikan dengan satu atau dua intervensi saja,” ujar Fitrinitia.

“Harus ada sinergi dengan program lain, seperti perlindungan sosial. Selain itu, sangat penting untuk memasukkan pendekatan pengurangan kemiskinan dan pengurangan risiko bencana untuk mengembangkan cara yang inklusif dan efektif dalam mengembangkan modal mata pencaharian dan ketahanan masyarakat miskin,” tegasnya.

Kajian PKH ini difokuskan pada Pekalongan, sebuah kota pesisir di Pulau Jawa, Indonesia, yang rawan bencana. Dalam studi ini para peneliti memilih fokus pada kalangan buruh kain tradisional, mengingat Pekelongan merupakan salah satu sentra terbesar industri kain tradisional Indonesia. Banjir serius telah menghentikan produksi kain beberapa kali selama 10 tahun terakhir sehingga membuat para pekerja ini sangat rentan terkena dampak sosial dan ekonomi.

Studi tersebut mengkaji bantuan pemerintah, yang untuk tujuan studi ini disebut perlindungan sosial (PS) di seluruh subkategori modal finansial, modal sosial, modal fisik, dan modal manusia.

Pekalongan melaksanakan PKH pada tahun 2012, dan pada tahun 2020 kembali terjadi banjir besar yang airnya mencapai rekor tertinggi. Sebuah survei dilakukan di antara para pekerja kain berpenghasilan rendah di daerah rawan banjir dan di antara mereka yang terkena dampak banjir tahun 2020.