Dalam rombongan tersebut, Herman Onesimus Lantang dipercaya sebagai pimpinan pendakian. Di ujung 1969, nama Herman sudah melegenda karena penelitian observasi-partisipasi antropologis di kalangan masyarakat Dani Timur di Lembah Besar Baliem, Pegunungan Tengah, Papua. Herman juga pernah menjadi Ketua Senat Mahasiswa FS-UI periode 1965-1967.
Lalu ada juga Aristides Katoppo (Tides), satu-satunya yang sudah beranak-beristri dan memiliki jabatan tinggi sebagai pemimpin surat kabar nasional besar. Selain itu ada juga Abdurachman (Maman) yang saat itu menjabat Ketua Mapala FS-UI. Kemudian ada Anton Wijaya (Wiwiek), aktivis gerakan mahasiswa jaket kuning UI Rawamangun-Salemba (sebelum kampus UI pindah ke Depok, Jawa Barat).
Di samping itu ada tiga peserta lain yang non-Mapala UI. Mereka adalah Idhan Dhanvantari Lubis (19), mahasiswa Universitas Tarumanegara; Freddy Lodewijk Lasut (17) yang baru lulus dan bercita-cita mau mendaftar dan masuk UI; serta Rudy Badil sendiri yang merupakan mahasiswa tingkat persiapan antropologi FS-UI.
"Saya diajak gabung atas undangan Maman yang ketua, serta rekomendasi Soe Hok Gie, 'pak dosen' untuk mata kuliah Teknik Bacaan Ilmiah dan Kepustakaan," tulis Rudy Badil yang menyebut bahwa Gie, selain sebagai aktivis, juga pernah menjadi pengajar di almamaternya.
Rudy menceritakan bahwa di hari pertama perjalanan, Gie yang suka bicara dan berdiskusi "benar-benar mengumbar pengetahuannya tentang sejarah masa kumpeni di Jawa." Gie bicara soal sejarah pendirian rel kereta api demi kepentingan dagang kompeni, termasuk teori berdirinya desa dan kota di pentai uata Jawa Tengah sampai Jawa Timur. Dia juga sempat menyebut Stasiun Semarang dengan sisa bangunan tuanya sebagai salah satu stasiun penting pertama kereta api di Jawa.
Gie dan Tides juga sempat memeriksa dengan seksama teks buku punya Herman Lantang, buku kecil tentang pemanduan pendakian ke Gunung Semeru, Gids voor Bergtocht op Java, karangan Dr. Ch. E. Stehn, terbitan De Nederlandsch-Indische Vereninging voor Bergsport, 1930. "Menurut Herman Lantang, saat itu dia juga membekali tim dengan buku tambahan, Bergenweelde, karangan CW Wormster, terbitan penerbit di Bandung, 1928," tulis Rudy.
Mereka melalui pendakian dengan lancar hingga mencapai puncak Gunung Semeru pada Selasa, 16 Desember 1969. Bahkan, Gie yang lahir pada 17 Desember 1942, sempat ingin merayakan ulang tahunnya di tanah tertinggi Pulau Jawa itu keesokan harinya, Rabu 17 Desember 1969.
Namun, pada hari Selasa sore itu sebuah persitiwa besar terjadi. Seusai berdoa dan menyaksikan letupan Kawah Jonggringseloko di Puncak Mahameru, puncaknya Gunung Semeru, serta semburan uap hitam yang mengembus membentuk tiang awan, beberapa anggota tim terseok-seok gontai menuruni dataran terbuka penuh pasir bebatuan. Mereka menutup hidung, mencegah bau belerang yang makin menusuk hidung dan paru-paru.
Di perkemahan darurat yang cuma beratapkan dua lembar ponco (jas hujan tentara), Rudy bersama Tides, Wiwiek dan Maman menunggu datangnya Herman, Freddy, Gie, dan Idhan. Hari makin sore, hujan mulai tipis dan lamat-lamat kelihatan beberapa puncak gunung lainnya. Namun secara berkala, letupan di Jonggringseloko tetap terdengar jelas.
Menjelang senja, tiba-tiba batu kecil berguguran. Freddy muncul sambil memerosotkan tubuhnya yang jangkung. “Gie dan Idhan kecelakaan!” katanya.
Tak jelas apakah waktu itu Freddy bilang soal terkena uap racun, atau patah tulang. Mulai panik, rombongan Rudy tersebut berjalan tertatih-tatih ke arah puncak sambil meneriakkan nama Herman, Gie, dan Idhan berkali-kali.
Baca Juga: Aktivisme hingga Petualangan: Antara Gie, Pendakian, dan Semeru