Selain Seks, Kama Sutra Memberi Filosofi Pedoman Hidup Penganutnya

By Galih Pranata, Senin, 12 Desember 2022 | 15:00 WIB
Pahatan erotis yang menggambarkan adegan dalam kitab Kama Sutra, sebuah pedoman di India Kuno sejak abad ke-4. (Wikimedia Commons)

Nationalgeographic.co.id—Kama Sutra dikenal oleh masyarakat luas sebagai pedoman seks bagi orang-orang India kuno. Pengucapan Kama Sutra membawa kita pada gambaran lukisan dinding erotis.

Dalam relief-relief itu, digambarkan orang-orang cantik dalam kondisi telanjang yang berpelukan dalam posisi yang cukup eksotis. Wanita-wanita itu memiliki bentuk tubuh yang eksotis dan ideal, membuat setiap instruktur yoga menjadi insecure dibuatnya. 

Seorang tokoh bernama Vatsyayana, dikenal secara luas sebagai penulis dari kitab Kama Sutra, meski masih sangat sedikit yang diketahui tentangnya. Dikatakan bahwa dia menulis naskah itu melalui ilham ilahi setelah banyak melakukan meditasi.

"Kama Sutra berarti risalah tentang kenikmatan seksual," tulis Joanne Reed kepada History of Yesterday dalam artikel berjudul The Religious Insights of the Kama Sutra yang diterbitkan pada 11 November 2022.

Berbeda dengan pandangan Kristen yang memandang tujuan seksual sebagai prokreasi, di dunia Hindu sejak abad ke-4, Kama Sutra merupakan pengembangan kenikmatan seksual yang terlepas dari prokreasi, semacam pencarian religiusitas seseorang.

Seni rayuan dan pengejaran kenikmatan seksual seperti yang diungkapkan dalam Kama Sutra, merupakan bagian integral dari sastra Sanskerta. Orang bijak dan seniman Hindu menganggap subjek ini sangat menarik sehingga membuat mereka mengabadikan berbagai ajaran dan praktik Kama Sutra dalam bentuk tulisan dan juga pahatan batu di berbagai kuil di seluruh negeri.

Pada mulanya, sang pencipta dalam kepercayaan Hindu menciptakan pria dan wanita dan dalam bentuk perintah menetapkan aturan untuk mengatur keberadaan mereka sesuai dengan prinsip Dharma, Artha, dan Kama.

Dalam tradisi Hindu, selama hidupnya, manusia harus mengejar tiga tujuan utama yang diperlukan untuk kehidupan yang memuaskan dan bahagia (DharmaArtha, dan Kama). 

Dharma adalah tugas individu yang dipenuhi dengan mematuhi adat atau hukum. Dharma mencakup kewajiban agama, hak moral, dan kewajiban, serta perilaku yang memungkinkan ketertiban sosial, perilaku yang baik, dan perilaku yang bajik. 

Prinsip ini mencakup apa yang harus diterima dan dihormati oleh semua makhluk yang ada untuk mempertahankan keharmonisan dan keteraturan di dunia.

Pahatan erotis Kama Sutra di dinding Pagoda Hitam, Kuil Matahari di Konarak, provinsi Sistan dan Baluchestan, Iran. (Wikimedia Commons)

Artha dalam bahasa Sansekerta berarti "kekayaan" atau "Kemakmuran". Artha menggabungkan kekayaan, karier, aktivitas untuk mencari nafkah, keamanan finansial, dan kemakmuran ekonomi.

Penting untuk dicatat bahwa pengejaran keuntungan materi harus dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip Dharma karena jika berlebihan akan menyebabkan ekses yang tidak diinginkan dan merusak.

Kama dalam bahasa Sansekerta berarti "cinta", "keinginan", dan "kesenangan" dan kenikmatan estetika hidup dengan atau tanpa konotasi seksual. Pengejaran Kama sebagai “cinta” tidak boleh melanggar prinsip Dharma (tanggung jawab moral) dan Artha (kemakmuran material).

Baca Juga: Kesalahpahaman Umum Kama Sutra, Bukan Sekadar Posisi Bercinta Belaka

Baca Juga: Erotika Timur Tengah Berusia 4.000 Tahun, Lebih Tua dari Kamasutra

Baca Juga: Hanya di India, Kepalanya Rela Ditumbuk Kelapa demi Keinginan Tercapai

Dalam tradisi Hindu, manusia harus mempraktikkan Dharma, Artha, dan Kama pada waktu yang berbeda dalam hidup mereka dan sedemikian rupa sehingga mereka selaras dan tidak berbenturan sama sekali.

Seseorang harus memperoleh pembelajaran dan pendidikan tentang ketiga prinsip itu sejak usia dini—terutama Dharma. Di masa muda dan paruh baya, seseroang tadi mulai harus memperhatikan Artha, dan Kama.

Seseorang harus merindukan kesenangan duniawi selama masa muda dan paruh baya karena selama periode ini seseorang secara fisik dan mental cocok untuk menikmati keintiman dengan lawan jenis.

Sementara "di usia tuanya, seseorang harus mengabdikan dirinya untuk mengabdi pada agama dan berjuang untuk mencapai keselamatan," tutup Joanne Reed dalam tulisannya.