Kehidupan Bangsa Mesir Kuno di Bawah Kekuasaan Ptolemaik dari Yunani

By Sysilia Tanhati, Senin, 19 Desember 2022 | 15:00 WIB
Sepeninggal Aleksander Agung, Ptolemaios, salah satu jenderalnya memiliki minat besar terhadap Mesir. Dengan cepat, ia menjadi firaun dan dimulailah Dinasti Ptolemaik Yunani. (Royal Ontario Museum)

Nationalgeographic.co.id—Ketika Aleksander Agung tiba di Mesir pada tahun 332 Sebelum Masehi, dia tidak hanya disambut tetapi juga didewakan. Sang penakluk dari Kerajaan Makedonia kuno itu menggulingkan rezim pendudukan Persia dengan mudah. Ia digambarkan sebagai dewa dan firaun oleh bangsa Mesir kuno meski ia tinggal di Mesir dalam waktu yang singkat. Sepeninggal Aleksander agung, Mesir kuno ternyata memikat seorang jenderal yang ambisius dalam barisannya. Ia adalah Ptolemaios I Soter. Setelah berbagai upaya dilakukan, Ptolemaios I menobatkan diri menjadi firaun. Sejak itu, dinasti Mesir yang baru dimulai: Dinasti Ptolemaik dari Yunani. Bagaimana kehidupan bangsa Mesir kuno di bawah kekuasaan Ptolemaik dari Yunani?

Siapakah Ptolemaios?

Setelah Aleksander Agung meninggal, para jenderalnya membagi provinsi di antara mereka sendiri, dan Ptolemaios mengincar Mesir. Dengan berbagai permainan politik, ia mampu memantapkan dirinya sebagai satrap (perdana menteri) di Mesir.

Pada tahun 305 Sebelum Masehi, setelah membunuh jenderal Aleksander Agung yang tersisa, Ptolemaios menobatkan dirinya sendiri sebagai firaun dari dinasti Mesir yang baru dan merdeka. “Itu adalah dinasti Ptolemaik,” tulis Michael Arnold di laman The Collector.

Keturunannya akan memerintah Mesir selama hampir 300 tahun, yang diakhiri dengan aksi bunuh diri keturunan terakhirnya, Cleopatra.

Ptolemaios menata kembali Mesir kuno

Semuanya dimulai dengan reorganisasi kerajaan. Sebagai permulaan, administrasi kerajaan dipusatkan di sekitar Aleksandria.

Menurut ahli klasik Inggris terkenal Alan K. Bowman, baik pemerintahan maupun ekonomi Ptolemaios sangat terorganisir dan dikontrol dengan ketat. Terjadi peningkatan pembangunan perkotaan di kota-kota Mesir kuno di masa kepemimpinan Ptolemaios.

Ptolemaios membentuk birokrasi baru untuk memerintah. Uniknya, birokrasi itu berbentuk seperti piramida. Tentu saja firaun berada di puncak piramida, diikuti politisi dan menteri yang mengepalai berbagai sektor bisnis, dan menteri daerah disebut strategos pada strata di bawahnya.

Birokrasi begitu rumit bahkan seorang administrator desa pun terdapat di dalamnya dan memiliki jaringan dengan firaun.

Seiring dengan perubahan birokrasi dan pemerintahan, Ptolemaios mengimpor hukum Yunani. “Namun ia tetap berhati-hati dengan tidak menggantikan hukum tradisional Mesir,” ungkap Arnold.

Tindakannya itu menciptakan sistem hukum dua tingkat. Kontrak yang dibuat dalam bahasa Yunani akan diselesaikan menurut hukum Yunani di pengadilan Yunani, yang disebut chrematistai. Sementara itu, kontrak yang dibuat dalam bahasa Demotik mengikuti hukum kerajaan dan diselesaikan di pengadilan Mesir, laokriti.

Perlakuan terhadap penduduk asli Mesir

Gagasan sistem hukum dua tingkat menyiratkan bahwa Ptolemaios mempromosikan kedudukan masyarakat yang tidak setara. Dan sebagian besar itu benar.

Tentu saja, penduduk asli Mesir lebih banyak daripada orang Yunani di Mesir. Tetapi orang Yunani mendominasi kelas aristokrat dan mereka melarang sebagian besar orang Mesir masuk ke dalamnya.

Salah satu metode yang dapat digunakan orang Mesir untuk maju adalah melalui dinas militer. Hibah tanah yang bisa ditanami sering kali merupakan hadiah di akhir masa jabatan seorang prajurit.

Jika seorang Mesir berambisi untuk masuk ke dalam birokrasi pemerintahan, pertama-tama dia harus belajar bahasa Yunani. Secara budaya, dia harus melebur dalam budaya Yunani hingga sedemikian rupa.

Namun, pada umumnya, orang Yunani secara terbuka diunggulkan dalam sistem administrasi dan hukum yang didirikan di bawah Ptolemaios.

Agama

Seperti kebanyakan budaya Mediterania pra-Kristen lainnya, tradisi agama Yunani dan Mesir bersifat cair. Agama membutuhkan sedikit pengabdian dari massa dan dimodifikasi untuk menyerap dewa-dewa baru.

Ptolemeus membawa semangat sinkretisme di Mesir kuno dengan memperkenalkan dewa-dewa hibrida baru. Yang paling utama adalah Serapis, dewa yang paling mewakili budaya Graeco-Mesir.

Ptolemeus I Soter menggunakan Serapis sebagai pemersatu yang hebat. Dia digambarkan sebagai orang Yunani dalam karakteristik fisiknya. Dan orang Yunani akan dengan mudah mengenalinya sebagai pengganti Zeus. Sementara itu, penduduk asli Mesir akan menghubungkannya dengan mitos Osiris dan Banteng Apis.

Serapis adalah pelindung ibu kota. Kompleks kuil megah yang disebut 'Serapaeums' didirikan untuk menghormatinya baik di Aleksandria maupun Memphis. Kedua tempat itu adalah kursi kerajaan dari dinasti baru dan lama.

Namun terlepas dari pengaruh budaya Yunani, Ptolemaios sama sekali tidak berusaha menghapus agama tradisional Mesir kuno. Sebaliknya, mereka memulihkan banyak kuil tua dan bahkan mendirikan yang baru.

Faktanya, beberapa situs Mesir yang paling terpelihara dan paling banyak dikunjungi saat ini adalah produk dari Dinasti Ptolemaik. Kuil Amon di Karnak, kompleks kuno terpenting di Luxor, diperluas secara signifikan oleh Ptolemaios.

Perpindahan penduduk

Mesir mengalami ledakan perpindahan penduduk di bawah kepemimpinan Ptolemaios. Berbondong-bondong orang Yunani tidak hanya dari Makedonia tetapi pulau-pulau Aegean, Asia Kecil dan Trakia berlayar ke Aleksandria. Ini terjadi setelah Ptolemaios membangun dinastinya dengan kokoh.

Sejumlah besar orang Yahudi juga bermigrasi ke Mesir. Mereka disambut oleh Ptolemaios I Soter yang, dalam tradisi Aleksander, menjunjung tinggi mereka. Sebagian besar penerusnya memberikan toleransi serupa.

Gelombang ekpansi orang Yahudi selanjutnya pada abad ke-2 Sebelum Masehi. Mereka adalah penduduk yang melarikan diri dari penganiayaan di bawah pendudukan Seleukia di Yudea.

“Akan tetapi, sebagian besar migrasi awal berkaitan dengan kerajaan Mesir yang membengkak,” ujar Arnold.

Pada puncaknya, Dinasti Ptolemaik menaklukkan hamparan tanah dari Sinai hingga Suriah, seluruh pulau Siprus, sebagian besar Anatolia selatan, beberapa pulau Aegean serta pesisir Cyrenia.

Sebagian besar akuisisi teritorial dilakukan di bawah kepemimpinan tiga firaun pertama. Mereka memperluas wilayah hingga sejauh timur Babilonia dan sejauh utara Thrakia dalam kampanye militernya. Semangat penaklukkan yang diwariskan oleh Aleksander Agung tentu saja hidup dalam diri Ptolemaios. Namun, setelah kematiannya, dinasti itu mulai mandek dan kemudian menurun.

Generasi Ptolemaios selanjutnya menganggur di Aleksandria saat Romawi mengalahkan Kartago sebagai negara adidaya Mediterania. Pada Dinasti Ptolemaik Akhir, Republik Romawi memiliki pengaruh yang signifikan atas Mesir baik dalam skala internasional maupun domestik.

Penurunan dinasti ini memuncak di bawah kepemimpinan Cleopatra VII.

Selama masa pemerintahannya, dia dicintai karena benar-benar peduli pada rakyatnya. Ia adalah penguasa Ptolemaik pertama yang benar-benar berbicara bahasa Mesir.

Penurunan dinasti Ptolemaik memuncak di bawah kepemimpinan Cleopatra VII. (ALTES MUSEUM GERMANY)

Cleopatra dipuji sebagai reinkarnasi Isis. Plutarch bahkan menyebutkan jika sang firaun memiliki pesona yang tak tertahankan.

Ia diketahui menggunakan seks sebagai alat dalam hubungan diplomatik. Dan pada saat memikitar para pemimpin Romawi untuk mempertahankan kekuasaan di Mesir, Cleopatra menggunakan pesonanya dengan bijak.

Setelah dikalahkan oleh Oktavianus, anak angkat Julius Caesar yang kemudian menjadi Kaisar Augustus, Cleopatra bunuh diri dengan racun ular. Peristiwa ini menandai akhir definitif Mesir Ptolemaik.

Sepeninggal Cleopatra, Kaisar Augustus menguasai Mesir. Ia membunuh Caesarion, salah satu anak Cleopatra. Tiga anak lainnya dibawa ke Roma dan dipamerkan bak “piala kemenangan”.

Sebagian besar birokrasi dan infrastruktur Ptolemaik ditinggalkan selama Periode Romawi. Dan bagi kebanyakan orang Mesir, siapa pun yang memerintah di Aleksandria tidak membuat banyak perbedaan dalam hidup mereka.