Nationalgeographic.co.id - Paspalum vaginalum atau yang dikenal sebagai paspalum pantai, sering dimanfaatkan sebagai rumput lapangan olahraga, termasuk di stadion sepak bola. Paspalum pantai ini tumbuh di lingkungan subur, berasal dari benua Amerika di iklim subtropis dan tropis.
Jenis rumput ini tampak tangguh, bahkan saat digunakan pada ajang Piala Dunia 2022 di Qatar. Ketika 22 pemain sepak bola berlari dengan sepatunya yang bergigi, menendang, meluncur, dan tersungkur di atasnya, paspalum pantai bisa bertahan. Uniknya, paspalum pantai bisa hidup di lingkungan panas atau beriklim gurun Timur Tengah seperti Qatar.
Selain beriklin gurun, Qatar juga adalah negara yang memiliki pasokan air bersih sedikit. Kekhawatiran dari Qatar sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022, akan ada banyak air terbuang yang seharusnya untuk masyarakat, dipakai menumbuhkan rumput stadion.
Penyedia rumput untuk Piala Dunia 2022 itu adalah Atlas Turf International, sebuah perusahaan rumput daru Georgia, AS. Butuh penelitian bertahun-tahun untuk menentukan rumput mana yang tepat untuk digunakan perhelatan sepak bola sejagat ini. Perusahaan ini menanam rumput di semua stadion, termasuk yang dipakai tim berlatih.
"Ini menegangkan," kata CEO Atlas Turf John Holmes di Quartz. Rumput yang ditanaminya berhasil dipakai untuk pertandingan dan latihan. Pada awalnya ia sempat khawatir jika gagal, dan akan berdampak buruk pada kinerja rumput dan menyebabkan pemian lapangan. "Anda tidak ingin melihat siapa pun terluka," lanjutnya. Rumput ini berhasil di bawah langkah Messi, Ronaldo, Mbappé, dan Neymar.
Sebuah penelitian yang baru terbit 13 Desember 2022 kemarin memberi pengetahuan kita soal rumput paspalum pantai. Makalah itu berjudul "Genome of Paspalum vaginatum and the role of trehalose mediated autophagy in increasing maize biomass" di jurnal Nature Communications.
Paspalum yang berkerabat dengan jagung dan sorgum itu, meroket penggunaannya sejak pertengahan abad ke-20. Seringkali tanaman ini dipupuk dengan nitrogen dan fosfor yang penting untuk pertumbuhan. Nyatanya, paspalum pantai tidak membutuhkan banyak nutrisi itu.
Baca Juga: Pemain Sepak Bola di atas 35 Tahun Berisiko Terkena Sakit Jantung
Baca Juga: Keramaian Suporter Sepak Bola Bisa Pengaruhi Keputusan Kartu Wasit
Baca Juga: Bagaimana Para Imigran Membuat Sepak Bola Prancis 'Jadi Lebih Baik'
Baca Juga: Mengapa Banyak Pemain di Piala Dunia yang Kaus Kakinya Bolong-Bolong?
Para peneliti mengurutkan genetik lengkap terhadap rumput ini dengan serius. "Kami akhirnya mulai memahami apa yang membuat tanaman ini begitu tangguh," kata James Schnable, salah satu peneliti yang menjabat profesor di Department of Agronomy and Horticulture, University of Nebraska-Lincoln, di Phys.
Dia dan timnya mendapati bahwa rumput ini bisa bertahan di laboratorium rumah kaca Nebraska. Padahal, selama ini tanaman ini diabaikan dari pemantauan pengawas rumah kaca. "Ada periode di mana tidak ada yang ingat menyirami tanaman paspalum selama beberapa bulan," terang Schnable.
"Tetapi tanaman itu baik-baik saja. Faktanya, biasanya tumbuh sangat cepat sehingga akan mencoba menyerang pot tanaman tetangga, dan manajer rumah kaca harus memanggil saya atau orang-orang di lab untuk turun dan memangkasnya," lanjutnya.
Penulis pertama makalah Guangchao Sun, mantan doktoral di tempat Schnable juga mengamati paspalum dengan menguji ketahanannya dengan percobaan. Dia menanamnya bersama jagung dan sorgum untuk beberapa minggu di berbagai kondisi. Paspalum pantai ternyata terus tumbuh ketika jagung dan sorgum terhambat perkembangannya tanpa nitrogen dan fosfor.
Berdasarkan analisis dan ekspresi gen, para peneliti mendapati bahwa paspalum pantai merespons kekurangan nutrisi dengan menggadakan produksi molekul gulanya--trehalosa. Sebenarnya trehalosa juga dihasilkan oleh jagung dan sorgum, tetapi produksinya tidak terlihat oleh para peneliti di situasi yang sama.
Ketahanan tanaman dan pangan
Apa yang bisa dipelajari dari paspalum pantai adalah trehalosanya yang punya peran sentral sebagai ketahanan pangan. Sun berpikir, jika kadar trehalosa di jagung yang biasanya menjadi bahan makanan, ditingkatkan kadarnya, mungkinkah bisa membuatnya setangguh paspalum?
Rupanya tidak efektif. "Jadi saya berpikir sebaliknya," kata Sun. "Jika saya tidak dapat memasok terhalosa ke tanaman, bagaimana jika saya menghentikan degradasinya pada tanaman tersebut?" Maka, ia beralih ke antibiotik untuk menghambat enzim penurun trehalosa.
Hasilnya berhasil. Banyak jagung yang bisa tumbuh lebih banyak, tetapi belum diketahui tinggi atau rendahnya nutrisi terkandung.
Tim penelitian menduga, toleransi ini mungkin bergantung pada otofagi (autophagy) dalam sel tanaman yang bekerja sebagai "program daur ulang," kata Schnable. Bagian ini memisahkan protein lama atau yang telah rusak, untuk disusun lagi menjadi protein baru yang berfungsi.
"Masih ada hal lain yang harus dilakukan," kata Sun. "Dan jika Anda dapat (memperkenalkan) wilayah genomik itu ke dalam varietas jagung elit lainnya—katakanlah, beberapa jagung yang memiliki hasil tinggi tetapi sangat sensitif terhadap tekanan nutrisi—mungkin sekarang Anda mendapatkan hasil dan ketahanan yang tinggi."