Nationalgeographic.co.id—Alprih Priyono, eks asisten Panji Petualang yang juga pencinta ular, meninggal dunia akibat digigit ular king kobra. Pria 26 tahun itu digigit ular pada Minggu (18/12/2022) malam di Gang Lipur, Kota Sukabumi, Jawa Barat. Alprih tutup usia pada Senin (19/12/2022) dini hari tak lama setelah terkena gigitan ular tersebut.
Sang ibunda, Iroh (68), menceritakan peristiwa gigitan ular itu terjadi saat malam final Piala Dunia 2022. "Alprih di situ sama temannya yang komunitas musik, terus katanya pas dipatuk ularnya pas lagi gol kedua Argentina, ada sorakan dari warga, mungkin ularnya kaget dan langsung mematuk salah satu jari tangan sebelah kiri," tutur Iroh di rumahnya, Selasa (20/12/2022).
Menurut keterangan temannya, Alprih sempat mengeluarkan suara seperti orang mengorok. Ia pun langsung dievakusi ke RSUD R Syamsuddin SH. Namun, petugas kesehatan yang berupaya melakukan penanganan termasuk dengan memompa jantung mengatakan bahwa organ milik Alprih itu melemah.
"Saya samperin anak saya itu saya bisikin ke telinganya supaya kuat, Allahu, Allahu, namun habis itu matanya langsung tertutup dan kata petugas jantungnya sudah berhenti," kata dia.
Tri Maharani, dokter spesialis kegawatdaruratan (emergency) sekaligus penasihat Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk kasus gigitan ular, menjelaskan bahwa bisa king kobra bersifat neurotoksin. Racunnya menyerang saraf dan dapat menyebar ke seluruh bagian tubuh sehingga membuat otot-otot tidak berfungsi, termasuk otot paru-paru dan jantung.
"Mengorok itu tanda dia gagal napas," papar Maharani.
Maharani meyakini bahwa Alprih tidak menerima pertolongan pertama berupa imobilisasi sehingga racunnya menyebar dengan cepat dan berdampak fatal. "Mereka pasti tidak menerapkan imobilisasi," ujar Maharani yang juga merupakan Kepala Departemen Instalasi Gawat Darurat (IGD) di Rumah Sakit Umum Daha Husada, Kota Kediri.
"Sayangnya, banyak orang lebih percaya metode-metode klenik untuk pertolongan gigitan ular berbisa seperti memasukkan garam dan lain-lain ke bagian luka. Padahal itu tidak terbukti bisa menolong," beber Maharani.
"Metode imobilisasi yang dianjurkan WHO itu adalah metode yang paling mudah dan terbukti secara ilmiah dapat memperlambat penyebaran bisa ular di dalam tubuh," tegasnya.
Baca Juga: Alprih Priyono Meninggal Dunia, Bisa Ular Lahir dari Perlombaan Senjata Evolusioner
Baca Juga: Perdagangan Ular di Indonesia Disorot: Apakah Cukup Berkelanjutan?
Baca Juga: Ilmuwan Temukan Cara Baru Mengobati Korban Gigitan Ular dengan Cepat
Imobilisasi adalah metode menyanggga bagian tubuh yang terkenan gigitan ular agar tetap statis dan tidak bergerak-gerak, seperti pada pasien patah tulang. Imobiliasi bisa dilakukan dengan menggunakan sepasang kayu atau papan yang diikat dengan perban, plester, atau tali.
Prinsipnya, adalah membuat otot-otot di sekitar luka tidak bergerak. Tujuannya, agar racun tidak menjalar luas ke bagian organ tubuh lain.
Sederhananya, otot yang bergerak akan mempercepat reaksi bisa. Oleh karena itu, harus dilakukan imobilisasi. Hasil penelitian terbaru menyebutkan, bisa tidak menjalar lewat pembuluh darah, melainkan melalui kelenjar getah bening. Jadi, menyedot darah ataupun membuat sayatan di pembuluh darah untuk mengeluarkan bisa adalah upaya yang tidak relevan.
Tri Maharani menyoroti bahwa kasus kematian pencinta ular ini menunjukkan betapa Indonesia sangat memerlukan aturan soal pemeliharan dan atraksi ular. Maharani mengatakan bukan pertama kali ini saja Alprih pernah digigit ular berbisa.
"Bertahun-tahun lalu saya pernah dikonsuli soal kasus gigitan ular yang menimpa Alprih. Anak ini pernah digigit ular beberapa kali, tapi kali berakibat fatal," kata Maharani kepada National Geographic Indonesia.
Alprih pernah menjadi asisten Panji Petualangan, seorang pemelihara dan peraga atraksi ular yang terkenal, selama bertahun-tahun. Setelah tak bekerja untuk Panji, Alprih kemudian aktif mengisi channel YouTube-nya sendiri dengan video-video berisi atraksi dia bersama ular-ular berbisa dan hewan-hewan liar lain.
Iroh mengatakan kejadian Alprih dipatuk ular bermula saat sang putra mendapatkan laporan dari temannya bahwa ada bayi ular king kobra berkeliaran di dekat lokasi mereka nonton bareng final Piala Dunia 2022. Alprih yang tak jauh dari lokasi penemuan pun segera datang untuk berusaha mengamankan ular tersebut.
Menurut Maharani, kemungkinan king kobra itu adalah ular peliharaan. Mungkin saja lepas. "King kobra itu ular kategori 2, hidupnya jauh dari permukiman manusia," ucap Maharani yang juga merupakan ahli toksinologi dan pakar gigitan ular.
Kategori 2 merupakan klasifikasi ular berbahaya dan berbisa, tapi tidak terlalu mengancam. "Dengan alasan habitat di dalam hutan, jauh dari lingkungan hidup manusia, maka ular ini dianggap kategori 2,” papar Amir Hamidy, Ketua Perhimpunan Herpetologi Indonesia (PHI) yang juga peneliti reptil dan amfibi di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Jadi, ular king kobra itu kecil kemungkinannya berada di dekat permukiman manusia kalau bukan dibawa oleh manusia. Bahkan, lebih lanjut, menurut data yang dihimpun oleh Maharani, kebanyakan kasus gigitan ular yang berdampak fatal di Indonesia adalah akibat aksi memelihara atau atraksi ular (human made bite), bukan kasus yang terjadi di alam liar (nature bite).
Dari total sekitar 135.000 kasus gigitan ular yang terjadi di Indonesia dalam setahun, angka fatalitasmnya mencapai 10%. "Dan terbanyak akibat pemeliharaan ular, atraksi, dan jual beli ular," ungkap Maharani.
"Yang nature bite sedikit yang fatal meski ada. Tapi yang human made bite banyak sekali. Jadi butuh UU (Undang-Undang) untuk pemeliharaan ular, atraksi, dan juga jual beli ular," tekannya.
"Saya tidak mau menghabiskan waktu saya untuk mengobati orang-orang yang dengan sengaja membuat diri mereka digigit ular," tegas Maharani.
Menurutnya, hewan liar apa pun sebaiknya hidup di alam liar. Jangan dibawa ke dekat permukiman manusia karena bisa berbahaya bagi banyak orang dan juga hewan itu sendiri.