Nationalgeographic.co.id – Gigitan ular menimbulkan ancaman yang berbahaya bagi manusia. Cenderung ada lebih banyak kematian terkait ular dalam satu minggu, dibanding akibat lebah selama satu tahun penuh. Menurut data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sekitar 80 ribu hingga 140 ribu orang meninggal setiap tahunnya akibat gigitan ular.
Salah satu alasan mengapa angkanya sangat tinggi adalah karena gigitan ular sering terjadi di alam liar. Dan selama ini, perawatan yang dilakukan kerap membutuhkan pengaturan klinis dan pemberian antivenom intravena.
Baca Juga: Studi: Musim Panas Belum Tentu Menghambat Penyebaran COVID-19
Sebuah studi terbaru, bagaimanapun juga, dapat memberikan pilihan pengobatan untuk membantu menjaga korban gigitan ular tetap hidup sampai pengobatan yang tepat dapat diberikan.
Menurut penelitian terbaru dari Liverpool School of Tropical Medicine, pemberian obat oral kepada korban gigitan ular dengan “dimercaprol, dan turunannya 2,3-dimercapto-1-propanesulfonic acid (DMPS)” dapat menghambat penyebaran racun ular untuk sementara waktu. Lebih lanjut, obat tersebut bahkan lebih kuat ketika kemudian dikombinasikan dengan antivenom tradisional.
Studi mereka menunjukkan bahwa DMPS dapat digunakan sebagai obat oral bagi korban gigitan ular sebelum dibawa ke fasilitas kesehatan. Sementara antivenom dibutuhkan setelah pasien tiba di rumah sakit. Dengan kata lain, pengobatan dini dengan DMPS memiliki potensi untuk menyelamatkan nyawa.
Baca Juga: Para Ilmuwan Ini Ubah Virus Corona Menjadi Instrumen Musik Indah
"Keuntungan menggunakan senyawa seperti DMPS adalah ia sudah menjadi obat berlisensi yang telah terbukti aman dan terjangkau," kata profesor Nicholas Casewell yang terlibat dalam penelitian tersebut.
“Obat ini secara efektif dapat menetralisir racun ular, menawarkan intervensi awal untuk gigitan yang mengancam jiwa dari ular semacam beludak sisik gergaji,” pungkasnya.
Source | : | New York Post |
Penulis | : | Gita Laras Widyaningrum |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR