Nationalgeographic.co.id - Dalam kesempatan langka, sebuah fosil istimewa yang digali dapat menunjukkan pandangan luar biasa akan evolusi sekelompok organisme.
Kali ini, fosil yang digali merupakan tulang tengkorak seekor ular purba yang memiliki tungkai belakang mirip kaki, Najash rionegrina. Riset kami mengenai fosil ini telah dipublikasikan dalam jurnal Science Advances.
Fosil ini dan beberapa fosil lainnya membantu menjawab pertanyaan selama ini mengenai asal usul ular, seperti bagaimana mereka kehilangan anggota tubuh, terutama kaki, dan berevolusi memiliki tulang tengkorak yang sangat khusus.
Baca Juga: Demi Mencari Makanan dan Pasangan, Harimau Ini Berjalan Hingga 1.300 Kilometer
Najash rionegrina diberi nama sesuai ular berkaki dalam Alkitab, yakni Nahash, yang berarti ular dalam bahasa Ibrani, sedangkan rionegrina diambil dari nama tempat fosil ini ditemukan, yaitu Provinsi Rio Negro di Argentina. Fosil Najash diperkirakan berumur 95 juta tahun dan pertama kali dijelaskan dalam Nature sebagai tengkorak fragmentaris atau terpisah-pisah dan berupa kerangka tubuh parsial yang melindungi tungkai belakang dengan kuat.
Fosil ular bertungkai belakang ini mengundang sejumlah ketertarikan media karena mengikuti laporan sebelumnya mengenai fosil ular laut dengan tungkai belakang. Fosil Najash sangatlah unik karena ini bukan seekor ular laut, melainkan ular darat yang hidup di gurun. Ditambah dengan keadaan fosil ini yang ditemukan tidak dalam keadaan tertekan oleh beratnya sedimen tanah di atasnya, sehingga mereka terlindung dan mempertahankan bentuk tiga dimensi, tidak seperti fosil ular laut yang ditemukan sebelumnya.
Sayangnya, deskripsi awal Najash didasarkan pada tengkorak yang terpisah-pisah. Para ahli evolusi ular harus menebak-nebak seperti apa bentuk kepala hewan purba ini.
Kita tahu dari anatomi bahwa ular berevolusi dari kadal. Kita juga mengetahui bahwa tengkorak ular telah menjadi kunci keberhasilan adaptasi makan mereka yang sangat khusus. Tengkorak fosil Najash yang baru akan sangat memberikan informasi dalam mempelajari pola evolusi tengkorak ular.
Kala itu merupakan hari yang panas di bulan Februari 2013 ketika Fernando Garberoglio, seorang sarjana palaentologi dari Universidad de Buenos Aires, pergi dalam penjelajahan pertamanya mengunjungi La Buitrera Area di utara Patagonia, Argentina. Bersama dengan dia, ikut pula dua palaeontolog lainnya: Sebasitian Apesteguia dari Universidad Maimoniedes dan Guillermo Rougier dari University of Lousville.
Mencari fosil vertebrata adalah pekerjaan yang butuh kesabaran dan penuh ketelatenan. Ini menuntut Anda untuk dekat dengan tanah, mengamati pasir, kerikil, batu, dan sedimen untuk tanda adanya tulang. Anda harus mengambil tiap bagian, memeriksanya dengan dekat, mengembalikan ke tempat asalnya, dan mengulanginya begitu terus dalam berjam-jam. Di La Buitrera, Anda harus siap hangus terbakar sinar matahari, bertahan dari hujan lebat dan dinginnya angin pegunungan Andes.
Tapi itu semua akan terbayar khususnya dengan apa yang terjadi pada Garberoglio. Dia akhirnya mengambil sebuah kerikil yang berukuran hanya beberapa sentimeter, dan menemukan wajah kecil kuno bertulang menatapnya.
“Saya menemukan sebuah tengkorak ular!” begitu katanya.
Source | : | The Conversation Indonesia |
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR