Nationalgeographic.co.id - Ada banyak ketidaktahuan di sekitar manusia, dan kita suka mencari tahu. Demi mencari tahu tentang sesuatu, termasuk penyakit yang menghantui peradaban manusia, kita mencari petunjuk secara ilmiah. Namun, alih-alih mencari tahu secara ilmiah, banyak dari manusia lebih menyukai jawaban lain: mitos.
Kanker, sebuah penyakit yang bisa muncul dari dalam tubuh manusia akibat mutasi gen dalam sel, ternyata tidak lepas dari mitos. Mitos seperti ini lebih langgeng dipercayai oleh masyarakat yang percaya pada konspirasi, dan bahkan berhubungan dengan yang tidak memercayai vaksin COVID-19, menurut sebuah penelitian terbaru.
Padahal, kanker adalah penyebab utama banyak orang di seluruh dunia. Diperkirakan setengah dari kanker yang didiagnosis, dapat dicegah dengan perubahan gaya hidup dan vaksinasi, seperti human papillomavirus (HPV).
Penelitian itu dipublikasikan di British Medical Journal edisi Natal, bertajuk "Everything causes cancer? Beliefs and attitudes towards cancer prevention among anti-vaxxers, flat earthers, and reptilian conspiracists: online cross sectional survey". Penelitian itu dipimpin oleh Sonia Paytubi, peneliti di Cancer Epidemiology Research Programme Catalan Institute of Oncology, Spanyol.
Pada awalnya, para peneliti ingin mencari tahu kesulitan masyarakat dalam membedakan penyebab kanker secara mitos. Mitos ini berkembang karena informasi dari media massa dan media sosial, kata para peneliti.
Para peneliti mensurvei para responden, termasuk memberikan informasi usia, jenis kelamin, negara asal, negara tempat tinggal, tingkat pendidikan, hingga pekerjaan mereka yang berhubungan dengan dunia medis. Survei diadakan selama Januari hingga Maret 2022, dalam diskusi daring populer terkait keyakinan mereka pada kanker.
Mereka juga ditanyakan tentang kebiasaan dan perilaku kesehatan, termasuk jenis pengobatan konvensional atau alternatif, sikap terhadap vaksinasi COVID-19, status merokok, konsumsi alkohol, berat dan tinggi badan, serta riwayat kanker.
Selain itu peserta ditanyai lebih lanjut mengenai teori-teori konspirasi. Topik yang ditanyakan termasuk teori bumi datar, dan keyakinan tentang penyebab kanker secara aktual dan mitos.
Secara aktual, penyebab kanker adalah merokok, konsumsi alkohol, aktivitas fisik yang rendah, paparan ultraviolet matahari, riwayat keluarga, infeksi HPV, dan obesitas berlebih. Sementara yang mitos, untuk diajukan, adalah makanan yang mengandung pemanis buatan atau aditif, makanan hasil rekayasa genetika, pemakaian microwave, wadah aerosol, ponsel, dan produk pembersih rumah, tinggal di dekat sluran listrik, dan merasa stres.
Pertanyaa-pertanyaan itu diajukan untuk meminta kesetujuaan mereka. Survei dibuat dengan lima skala dari "sangat tidak setuju" hingga "sangat setuju". Pertanyaan-pertanyaan di atas diajukan karena narasinya sering muncul di pemberitaan dan media sosial, terang para peneliti.
Dari 1494 peserta survei yang dianalisis, 209 di antaranya tidak divaksinasi COVID-19. 112 dari peserta memilih pengobatan alternatif daripada konvensional, dan 62 di antaranya melaporkan keyakinan teori konspirasi seperti bumi datar. Para peserta ternyata sebagian di ataranya masih rendah mengetahui penyebab kanker.
Hampir setengah dari peserta, ternyata tidak bisa membedakan mana yang ilmiah dan mitos terkait kanker. Hal itu dibuktikan dalam pertanyaan terkait beberapa faktor yang dicampur antara yang ilmiah dan mitos, dengan 45 persen menjawab "Sepertinya semuanya menyebabkan kanker."
Baca Juga: Orang yang Tidak Percaya Covid-19, Biasanya Percaya Teori Konspirasi
Baca Juga: Kenapa Orang Percaya Teori Konspirasi? Simak Fakta Mengejutkan Ini
Baca Juga: Upaya Penyembuhan Kanker, Ilmuwan Singkap Rahasia Fotosintesis Tanaman
Baca Juga: Enam Mitos dan Teori Konspirasi Bulan yang Berkembang di Masyarakat
Berturut-turut, hasil lainnya juga hampir setengah memercayai mitos kanker, seperti kalangan yang percaya konspirasi (42 persen), kelompok yang tidak divaksinasi (44 persen), dan yang memercayai pengobatan alternatif (36 persen).
“Hasil ini menunjukkan hubungan langsung antara kesalahan informasi digital dan keputusan kesehatan yang salah, yang mungkin merupakan bagian lebih lanjut dari kanker yang dapat dicegah,” para peneliti menyimpulkan.
Misinformasi terkait kanker yang diamini oleh khalayak, bisa membuat mereka menolak untuk mendapatkan tindakan pencegahan yang tepat.
Meski demikian, tidak ada temuan terkait rasa tidak percaya (skeptis), atau keyakinan konspirasi yang berhubungan dengan sikap terhadap pencegahan kanker. Fenomena ini berbeda dengan pencegahan COVID-19 dengan vaksin yang sering dihubungkan dengan agenda konspirasi.