Sejarah Banjir Jakarta: Mengapa Tak Tertangani sejak Hindia Belanda?

By Utomo Priyambodo, Kamis, 29 Desember 2022 | 09:00 WIB
Banjir di Jakarta pada 2014. (danikancil/Getty Images)

"Masalah banjir di Kota Jakarta untuk pertama kali ditinjau dan ditangani secara sistematis pada pertengahan tahun 1920an pada waktu Jakarta masih menyandang nama Batavia," tulis tim penulis buku bertajuk Masalah Banjir di Batavia Abad XIX itu.

Batavia waktu itu diperkirakan akan mengalami peningkatan banjir lagi akibat pembukaan hutan di pegunungan daerah selatan Bogor, seperti yang disebutkan di atas. "Sehingga tercetuslah rencana pengendalian air bagi Kota Batavia yang dikenal dengan Rencana van Breen. Lengkapnya rencana ini disebut Perbaikan Tata-air Ibukota Batavia," tulis mereka.

Rencana pengendalian air ini lebih lajut juga terkait dengan rencana pembuangan air dan kotoran bagi wilayah kota bagian selatan. Persisnya di wilayah permukiman yang waktu itu sedang dibangun, yakni Wilayah Menteng-Gondangdia, yang sekarang lebih dikenal dengan sebutan Daerah Menteng.

Banjir Jakarta 01/01/2019 menganyutkan beberapa mobil. (Syifa Nuri Khairunnisa/Kompas.com)

Rencana van Breen cukup sederhana. Inti dari rencana perbaikan tata-air ibu kota adalah sebuah terusan baru yang letaknya melintang terhadap arah alur-alur sungai di wilayah ibu kota, yakni timbur-barat. Suatu penempatan alu yang dikenal juga dengan istilah teknis transversal channel.

Budi Harsoyo mencatat bahwa banjir di Jakarta hingga kini sulit untuk dicegah dan diatasi karena kondisi geologi dan geomorfologi wilayah kota tersebut. "Menurut ahli geologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jan Sopaheluwakan, banjir Jakarta tidak akan dapat diselesaikan dengan sistem kanal karena secara geologis Jakarta sebenarnya merupakan cekungan banjir. Sebaliknya, kawasan utara Jakarta (sekitar Ancol dan Teluk Jakarta) mengalami pengangkatan karena proses tektonik. Oleh karena itu, air dari 13 sungai yang bermuara di Teluk Jakarta tidak bisa mengalir lancar ke laut dan kerap terjebak di cekungan besar Jakarta," tulis Budi.

Cekungan ini terbentuk dari tanah sedimen muda sangat tebal tetapi belum terkonsolidasi. Akibatnya, secara geologis, tanah di Jakarta perlahan mengalami penurunan. Penurunan permukaan tanah secara alami ini semakin diperparah dengan pengambilan air tanah secara besar-besaran oleh masyarakat Jakarta. "Penurunan permukaan tanah di Jakarta bervariasi di beberapa tempat, dengan laju antara 4-20 sentimeter per tahun," tulisnya.

Dalam buku The Geology of Indonesia, Van Bemellen (1977) menunjukkan bahwa Kota Jakarta tersusun atas endapan pantai dan endapan vulkanik. Proses pembentukan endapan pantai yang secara stratigrafi terhampar di bawah endapan vulkanik tersebut salah satunya melalui mekanisme banjir. Sederhananya, aliran sungai yang menggerus lapisan endapan vulkanik akan memperlihatkan endapan pantai yang berada di bawahnya.

Proses alami penggerusan endapan vulkanik oleh aliran sungai terlihat jelas dalam Peta Geologi Jakarta. Dari potongan peta geologi tersebut terlihat bahwa di sepanjang aliran sungai, jenis batuannya merupakan endapan pantai, bukan endapan vulkanik sebagaimana mayoritas batuan penyusun wilayah Jakarta bagian selatan. Dari peta ini juga terlihat bahwa wilayah Jakarta bagian utara tersusun oleh material endapan pantai dan sungai. Hal ini menunjukkan bahwa sejak dulu, wilayah Jakarta memang sudah merupakan daerah banjir.

Secara geomorfologi, Jakarta juga merupakan dataran banjir (flood plain). Dataran banjir merupakan daerah yang terbentuk akibat proses sedimentasi saat terjadi banjir. Dataran banjir pada umumnya berada di sekitar aliran sungai yang berkelok-kelok (meandering) atau pada titik pertemuan anak sungai dengan aliran sungaiutama.

"Dengan keberadaan 13 aliran sungai yang melintasi Kota Jakarta, maka memang cukup banyak dataran banjir yang tersebar di wilayah DKI Jakarta. Oleh karena itu, cukup bisa dimaklumi bahwa potensi banjir di wilayah DKI Jakarta memang sangat tinggi," simpul Budi.