Sejarah Banjir Jakarta: Mengapa Tak Tertangani sejak Hindia Belanda?

By Utomo Priyambodo, Kamis, 29 Desember 2022 | 09:00 WIB
Banjir di Jakarta pada 2014. (danikancil/Getty Images)

Nationalgeographic.co.id—Histori banjir Jakarta telah membentang panjang selama berabad-abad. Bahkan sebelum Indonesia memperoleh kemerdekaannya.

Budi Harsoyo, peneliti dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT)--kini tergabung menjadi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)--, pernah membuat makalah studi berjudul "Mengulas Penyebab Banjir di Wilayah DKI Jakarta dan dari Sudut Pandang Geologi, Geomorfologi dan Morfometri Sungai". Dalam makalah yang terbit di Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca pada 2013 itu, Budi menuliskan bahwa banjir Jakarta telah terjadi sejak zaman Hindia Belanda.

"Sejarah mencatat banjir sudah mengakrabi Jakarta sejak awal pendirian kota ini oleh Pemerintah Hindia Belanda. Awalnya pada tahun 1619, Jan Pieterszoon Coen meminta Simon Stevin merancang sebuah kota di muara Sungai Ciliwung yang sering kebanjiran sebagaimana Kota Amsterdam di Belanda," tulis Budi dalam makalah studinya.

"Kota Batavia (sekarang menjadi Jakarta) dibangun dengan dikelilingi parit-parit, tembok kota, lengkap dengan kanal. Dengan kanal-kanal itu, Coen berharap bisa mengatasi banjir, sekaligus menciptakan sebuah kota yang menjadi lalu lintas pelayaran, sebagaimana kota-kota di Belanda," paparnya.

Sungai Ciliwung yang berkelok-kelok dialihkan dan digantikan sebuah terusan lurus yang membelah Kota Batavia menjadi dua bagian. Namun demikian, sistem kanal yang telah dibangun ternyata tidak mampu mengatasi banjir besar yang melanda Batavia pada tahun 1932 dan 1933. Contoh bangunan kanal dan pintu air peninggalan jaman Belanda yang dahulu dibangun untuk mengatasi permasalahan banjir di wilayah Jakarta dan masih ada hingga kini antara lain Kanal Banjir Kalimalang, Pintu Air Matraman, dan Pintu Air Karet.

Selain pada tahun 1932 dan 1933, sebelumnya Batavia (Jakarta) juga pernah mengalami banjir besar pada tahun 1918. Buku berjudul Masalah Banjir di Batavia Abad XIX pernah mengulas kejadian banjir Jakarta di era Hindia Belanda itu dengan mengutip sumber buku berbahasa Belanda.

Menurut Encyclopedie van Nederlandsch-Indie, eerste deel (1916), A-G, Batavia mengalami banjir besar pada 1918, bahkan diperkirakan ada peningkatan skala banjir. Banjir besar itu disebut terjadi setelah dibukanya hutan-hutan di pegunungan di daerah selatan Bogor guna membangun areal perkebunan teh, perumahan, pertokoan, dan lain-lain.

Baca Juga: Seribu Sapi Ditumbalkan Tarumanegara demi Cegah Banjir Jakarta

Baca Juga: 2050: Kerugian akibat Banjir Jakarta Diprediksi Naik Lima Kali Lipat

Baca Juga: Peneliti: Risiko Banjir di Jakarta Meningkat Hingga 400% pada 2050

Baca Juga: Jakarta Diprediksi Tenggelam Pada 2050, Bagaimana Mencegahnya?

Baca Juga: Banjir Jawa: Penurunan Tanah Jakarta, Pekalongan, Semarang Mengerikan

"Masalah banjir di Kota Jakarta untuk pertama kali ditinjau dan ditangani secara sistematis pada pertengahan tahun 1920an pada waktu Jakarta masih menyandang nama Batavia," tulis tim penulis buku bertajuk Masalah Banjir di Batavia Abad XIX itu.

Batavia waktu itu diperkirakan akan mengalami peningkatan banjir lagi akibat pembukaan hutan di pegunungan daerah selatan Bogor, seperti yang disebutkan di atas. "Sehingga tercetuslah rencana pengendalian air bagi Kota Batavia yang dikenal dengan Rencana van Breen. Lengkapnya rencana ini disebut Perbaikan Tata-air Ibukota Batavia," tulis mereka.

Rencana pengendalian air ini lebih lajut juga terkait dengan rencana pembuangan air dan kotoran bagi wilayah kota bagian selatan. Persisnya di wilayah permukiman yang waktu itu sedang dibangun, yakni Wilayah Menteng-Gondangdia, yang sekarang lebih dikenal dengan sebutan Daerah Menteng.

Banjir Jakarta 01/01/2019 menganyutkan beberapa mobil. (Syifa Nuri Khairunnisa/Kompas.com)

Rencana van Breen cukup sederhana. Inti dari rencana perbaikan tata-air ibu kota adalah sebuah terusan baru yang letaknya melintang terhadap arah alur-alur sungai di wilayah ibu kota, yakni timbur-barat. Suatu penempatan alu yang dikenal juga dengan istilah teknis transversal channel.

Budi Harsoyo mencatat bahwa banjir di Jakarta hingga kini sulit untuk dicegah dan diatasi karena kondisi geologi dan geomorfologi wilayah kota tersebut. "Menurut ahli geologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jan Sopaheluwakan, banjir Jakarta tidak akan dapat diselesaikan dengan sistem kanal karena secara geologis Jakarta sebenarnya merupakan cekungan banjir. Sebaliknya, kawasan utara Jakarta (sekitar Ancol dan Teluk Jakarta) mengalami pengangkatan karena proses tektonik. Oleh karena itu, air dari 13 sungai yang bermuara di Teluk Jakarta tidak bisa mengalir lancar ke laut dan kerap terjebak di cekungan besar Jakarta," tulis Budi.

Cekungan ini terbentuk dari tanah sedimen muda sangat tebal tetapi belum terkonsolidasi. Akibatnya, secara geologis, tanah di Jakarta perlahan mengalami penurunan. Penurunan permukaan tanah secara alami ini semakin diperparah dengan pengambilan air tanah secara besar-besaran oleh masyarakat Jakarta. "Penurunan permukaan tanah di Jakarta bervariasi di beberapa tempat, dengan laju antara 4-20 sentimeter per tahun," tulisnya.

Dalam buku The Geology of Indonesia, Van Bemellen (1977) menunjukkan bahwa Kota Jakarta tersusun atas endapan pantai dan endapan vulkanik. Proses pembentukan endapan pantai yang secara stratigrafi terhampar di bawah endapan vulkanik tersebut salah satunya melalui mekanisme banjir. Sederhananya, aliran sungai yang menggerus lapisan endapan vulkanik akan memperlihatkan endapan pantai yang berada di bawahnya.

Proses alami penggerusan endapan vulkanik oleh aliran sungai terlihat jelas dalam Peta Geologi Jakarta. Dari potongan peta geologi tersebut terlihat bahwa di sepanjang aliran sungai, jenis batuannya merupakan endapan pantai, bukan endapan vulkanik sebagaimana mayoritas batuan penyusun wilayah Jakarta bagian selatan. Dari peta ini juga terlihat bahwa wilayah Jakarta bagian utara tersusun oleh material endapan pantai dan sungai. Hal ini menunjukkan bahwa sejak dulu, wilayah Jakarta memang sudah merupakan daerah banjir.

Secara geomorfologi, Jakarta juga merupakan dataran banjir (flood plain). Dataran banjir merupakan daerah yang terbentuk akibat proses sedimentasi saat terjadi banjir. Dataran banjir pada umumnya berada di sekitar aliran sungai yang berkelok-kelok (meandering) atau pada titik pertemuan anak sungai dengan aliran sungaiutama.

"Dengan keberadaan 13 aliran sungai yang melintasi Kota Jakarta, maka memang cukup banyak dataran banjir yang tersebar di wilayah DKI Jakarta. Oleh karena itu, cukup bisa dimaklumi bahwa potensi banjir di wilayah DKI Jakarta memang sangat tinggi," simpul Budi.