Pusparagam Wasur: Kisah Pelestarian yang Mengakar pada Budaya

By National Geographic Indonesia, Rabu, 4 Januari 2023 | 13:00 WIB
Agustinus Mahuze, sosok yang menggerakkan komunitas Mahuze Mandiri di Kampung Wasur. Ia berupaya menghimpun kembali filosofi dan kearifan marga di Merauke berkait etika ekologi. (Donny Fernando/National Geographic Indonesia)

 

Oleh Agus Prijono, Contributing Writer-National Geographic Indonesia

       

Nationalgeographic.co.id—Mahi di wajah-wajah itu menyala. Siang itu, seiring genderang tifa dan tembang, mahi yang mengguratkan motif totem binatang dan tumbuhan itu bangkit dari dunia spirit. Saat ritual cabut misar itu, yang tak kasat mata mewujud di depan mata.

Selain untuk menghormati sang mendiang, cabut misar juga menandai berakhirnya sar: larangan memanfaatkan sumber daya tertentu dalam jangka waktu tertentu. Cabut misar di keluarga Vincensius Mahuze ini menandai berakhirnya masa duka atas wafatnya sang ayah, Nicolaus Yagil Mahuze.

Pergelaran dihadiri segenap marga suku Marori Men-Gey yang mendiami Taman Nasional Wasur: Mahuze, Balagaize, Basik-basik, Kaize, Samkakai, Ndiken, dan Gebze. Marga Basik-basik misalnya, menorehkan mahi totem babi hutan. Marga Kaize dengan mahi totem burung kasuari. Atau, marga Mahuze yang bertotem anjing.

Mahi yang tergambar di wajah hari itu adalah totem yang populer. Totem menjadi identitas adikodrati marga-marga. “Totem merupakan simbol hewan dan tumbuhan yang bisa dimanfaatkan dan dilindungi marga,” ungkap La Hisa, staf Pengendali Ekosistem Hutan Taman Nasional Wasur.

Atmosfer kesucian mengapung di udara. Seluruh marga berdendang dan menari  mengitari tongkat misar. Warga marga mengenakan pakaian tradisional: polok, ureu, mbolol. Aneka dedaunan, bulu burung, dan kalung beruntaian kerang, menghiasi tubuh.

Bentang alam Rawa Biru, Distrik Merauke, yang menjadi bagian ekosistem Taman Nasional Wasur. Selain menyediakan pasokan ikan untuk warga, kawasan danau ini menjadi pemasok air bersih Kota Merauke. Kole-kole, semacam perahu kano, menjadi wahana transportasi andalan warga di rawa karena mempu menembus perairan dangkal dan celah rerumputan. (Donny Fernando/National Geographic Indonesia)

Tempat misar itu sakral. Hanya keluarga yang boleh memasuki kalangan misar. Di seputar misar, berdiri kwar: tiang-tiang kayu untuk menyandarkan hasil bumi dari kerabat: sagu, tebu, pisang. Umbi gembili terhampar di sekeliling misar. Begitu padatnya, aneka tanaman tradisi menaungi misar dari sinar matahari.

“Semua tumbuhan dan hewan yang berguna telah habis terbagi-bagi sebagai totem marga,” kata La Hisa. Di Taman Nasional Wasur, berdiam suku-suku: Kanume, Marori Men-Gey, Yeinan, dan Malind Buti. Keempat suku ini merupakan bagian dari suku besar Malind Anim (orang Malind). Suku-suku ini kemudian terbagi ke dalam marga-marga, dan sebagian marga ada yang terbagi lagi ke dalam klan-klan.

La Hisa melanjutkan, satu marga memiliki banyak totem tumbuhan dan satwa. Totemisme adalah hasil interaksi para leluhur dengan alam. Fauna dan flora yang dinilai penting bagi kehidupan lantas dijadikan totem. Totemisme inlah yang menautkan spirit tumbuhan-hewan dengan manusia yang diwariskan oleh para leluhur.

(National Geographic Indonesia Edisi Januari 2023)