Pusparagam Wasur: Kisah Pelestarian yang Mengakar pada Budaya

By National Geographic Indonesia, Rabu, 4 Januari 2023 | 13:00 WIB
Agustinus Mahuze, sosok yang menggerakkan komunitas Mahuze Mandiri di Kampung Wasur. Ia berupaya menghimpun kembali filosofi dan kearifan marga di Merauke berkait etika ekologi. (Donny Fernando/National Geographic Indonesia)

(National Geographic Indonesia Edisi Januari 2023)

Tradisi cabut misar, ungkap tetua suku Kanume Jeremias Karika Ndimar, untuk memperingati hubungan almarhum dengan alam. “Itu yang kita hormati dengan berpuasa maupun sasi [sar],” tutur Jeremias, yang memimpin upacara cabut misar. Artinya, selama ritual yang adikodrati menyatu dalam tubuh; tubuh pun melebur dalam spirit alam.

Dalam keseharian, tumbuhan dan hewan totem bisa dimanfaatkan oleh marga pemilik totem, dan dihormati marga lain. Namun, ada etika pemanfaatan. “Tata caranya [pemanfaatan] ditentukan marga bersangkutan, dan marga lain menghormati,” jelas Jeremias. Marga Samkakai misalnya, yang memiliki totem saham (kanguru atau walabi). Cara memperlakukan saham buruan, tubuhnya dibelah vertikal tepat di bagian tengah, mulai dari dada sampai perut, isi perutnya dikeluarkan, hati dapat dibuang maupun tetap di dalam tubuh. Pendek kata, tidak menyiksa hewan, tegas Jeremias. Bila marga lain berburu walabi, lanjutnya, meminta izin dan menghormati cara marga bertotem kanguru tadi.

Baca Juga: Menurut Ilmuwan Australia, Genom Orang Papua Dipengaruhi DNA Denisova

 Baca Juga: Dunia Hewan: Evaluasi Ulang Sejarah Kanguru Raksasa di Papua Nugini

 Baca Juga: Peneliti Australlia Menemukan Spesies Baru Kanguru Raksasa di Papua

 Baca Juga: Selidik Monotremata, Mamalia Bertelur Terakhir yang Berasal dari Papua

Hubungan dalam totemisme, ungkap Agustinus Mahuze, membentuk etika ekologi dalam mengelola hewan dan tumbuhan. “Totem sebagai simbol hubungan manusia dengan spirit hewan dan tumbuhan. Itu sakral dan dihormati marga-marga,” tutur pegiat budaya Mahuze ini. Itu konstruksi untuk menjaga harmoni antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam, imbuhnya.

Nilai tradisi tersebut merupakan hasil interaksi leluhur dengan alam Wasur. Jauh sebelum Taman Nasional Wasur berdiri, manusia dan alam telah berkembang bersama. Alam terkembang menjadi ilmu. Tak mengherankan, kearifan tradisional, ungkap La Hisa, sudah sempurna dalam menjaga alam. Ia memandnag tidak ada pertentangan antara kearifan lokal dengan konservasi modern. “Totemisme menyiratkan adanya penghargaan, perlindungan, dan pemanfaatan berkelanjutan satwa dan tumbuhan,” ia menegaskan.

Taman Nasional Wasur adalah persilangan antara sains dan kearifan lokal, dan yang. Sains mewarnai pengelolaan taman nasional dengan berbagai disiplin ilmu. Sementara kearifan lokal memantapkan pengelolaan kawasan yang mengakar pada budaya.

Untuk mendapatkan majalah National Geographic Indonesia edisi Januari 2023 silakan klik pranala ini.